Konsep keadilan restoratif (Restorative Justice/RJ) sebagai sebuah paradigma hukum progresif yang berfokus pada pemulihan, bukan sekadar pembalasan. Analisis ini melingkupi fondasi konseptualnya, akar historisnya yang kuat dalam kearifan lokal, serta implementasinya dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Berdasarkan kajian terhadap literatur dan studi kasus, tulisan ini menunjukkan bahwa RJ terbukti efektif dalam meningkatkan akuntabilitas pelaku, kepuasan korban, dan secara signifikan menurunkan tingkat residivisme, sebagaimana tercermin dalam kasus-kasus tindak pidana anak.
Namun, implementasi RJ di Indonesia masih menghadapi tantangan substansial. Landasan hukum yang bersifat sektoral dan fragmentatif, resistensi dari institusi tradisional, serta kurangnya pemahaman di kalangan publik dan aparat penegak hukum menjadi hambatan utama. Tulisan ini merekomendasikan perlunya pembentukan kerangka hukum yang komprehensif, investasi dalam peningkatan kapasitas sumber daya manusia, penguatan peran korban dan komunitas, serta program edukasi publik yang masif. Dengan demikian, potensi penuh keadilan restoratif dapat dioptimalkan untuk menciptakan sistem peradilan yang lebih manusiawi, efisien, dan berkeadilan holistik.
Latar Belakang: Keterbatasan Pendekatan Retributif
Sistem peradilan pidana konvensional, yang didasarkan pada pendekatan retributif, telah lama menjadi landasan penegakan hukum di banyak negara, termasuk Indonesia. Pendekatan ini berfokus pada penjatuhan hukuman yang setimpal kepada pelaku sebagai bentuk pembalasan atas pelanggaran hukum yang dilakukan. Kejahatan dipandang sebagai tindakan terhadap negara dan undang-undang, di mana pertanggungjawaban diartikan sebagai penerimaan hukuman. Dalam sistem ini, negara berperan sebagai penuntut, sementara korban sering kali terpinggirkan dan hanya diposisikan sebagai saksi yang membantu penuntut umum membuktikan tuntutan. Keterbatasan ini mengakibatkan pemenuhan hak-hak korban terabaikan, karena orientasi penghukuman semata-mata ditujukan pada pelaku.
Lebih jauh, pendekatan retributif dinilai memiliki dampak yang kontraproduktif dan tidak efisien. Sistem ini sering kali menyebabkan masalah kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan dan membebani negara dengan biaya ekonomi yang besar, tanpa memberikan manfaat rehabilitasi yang sepadan bagi pelaku. Selain itu, fokus pada hukuman semata cenderung mengabaikan akar permasalahan sosial yang mendorong kejahatan dan gagal memulihkan hubungan yang rusak antara pihak-pihak yang terlibat. Kelemahan-kelemahan fundamental inilah yang mendorong munculnya kebutuhan akan sebuah paradigma baru dalam penegakan hukum.
Mengapa Keadilan Restoratif?
Sebagai respons terhadap keterbatasan tersebut, keadilan restoratif muncul sebagai sebuah “paradigma alternatif” yang menekankan penyembuhan, rekonsiliasi, dan keterlibatan komunitas. Konsep ini merupakan tonggak baru dalam reformasi hukum pidana yang progresif, yang tidak lagi memprioritaskan hukum penjara semata. Tujuan utamanya dapat disimpulkan dalam adagium, “karena kejahatan melukai, keadilan harus menyembuhkan”. Daripada hanya berfokus pada pembalasan, keadilan restoratif menawarkan solusi yang melibatkan semua pihak yang terkena dampak kejahatan—korban, pelaku, dan komunitas—untuk secara kolektif mencari cara terbaik dalam menangani konsekuensi dari pelanggaran tersebut dan implikasinya di masa depan.
Tujuan dan Ruang Lingkup Tulisan
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan ulasan yang mendalam dan analitis mengenai keadilan restoratif. Ruang lingkup tulisan mencakup analisis fondasi konseptual, penelusuran akar historis dan kultural, tinjauan implementasi di Indonesia, evaluasi efektivitas dan tantangan, serta perbandingan dengan model-model internasional. Tulisan ini juga merumuskan rekomendasi strategis untuk mengoptimalkan penerapan keadilan restoratif di masa depan, dengan harapan dapat berkontribusi pada pengembangan sistem peradilan yang lebih adil dan holistik.
Fondasi Konseptual Keadilan Restoratif
Definisi dan Prinsip Utama
Keadilan restoratif adalah sebuah proses di mana semua pihak yang berkepentingan dalam suatu pelanggaran tertentu berkumpul untuk secara kolektif menyelesaikan bagaimana menangani akibat dari pelanggaran tersebut dan implikasinya di masa depan. Definisi ini, yang dikemukakan oleh Tony F. Marshall, menyoroti tiga prinsip inti yang membedakannya dari pendekatan retributif.
Pertama, keadilan restoratif berfokus pada perbaikan kerusakan. Alih-alih mengukur seberapa berat hukuman yang pantas diterima oleh pelaku, pendekatan ini melihat pada kerugian yang telah diderita oleh korban dan komunitas. Tujuannya adalah untuk “memperbaiki kerugian yang disebabkan oleh pelaku”. Perbaikan ini bisa berbentuk restitusi, permintaan maaf, atau tindakan lain yang bertujuan untuk mengembalikan keadaan korban dan komunitas.
Kedua, proses keadilan restoratif melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Ini mencakup tidak hanya korban dan pelaku, tetapi juga keluarga, teman, dan komunitas yang terdampak. Dialog yang difasilitasi memungkinkan setiap orang untuk mengungkapkan bagaimana mereka terpengaruh oleh kejahatan tersebut dan apa yang mereka butuhkan untuk pulih.
Ketiga, akuntabilitas dalam keadilan restoratif didefinisikan secara berbeda. Pertanggungjawaban tidak lagi hanya diartikan sebagai menerima hukuman, melainkan sebagai tindakan proaktif untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkan. Dengan berfokus pada solusi di masa depan, keadilan restoratif mendorong pelaku untuk mengambil tanggung jawab penuh atas tindakannya dan secara langsung berkontribusi pada pemulihan korban dan hubungan yang rusak.
Kontras Fundamental: Keadilan Restoratif vs. Keadilan Retributif
Perbedaan antara keadilan restoratif dan keadilan retributif bukanlah sekadar variasi prosedural, melainkan pergeseran filosofis yang mendalam. Keadilan retributif berorientasi pada masa lalu, dengan pertanyaan utama, “Apakah dia melakukannya?”. Fokusnya adalah pada siapa yang salah dan hukuman apa yang pantas mereka terima, mengabaikan efek psikologis dan sosial dari kejahatan. Sebaliknya, keadilan restoratif berorientasi pada masa depan dengan pertanyaan, “Siapa yang terluka? Apa kebutuhan mereka? Apa yang seharusnya dilakukan?”.
Tabel 1: Perbandingan Paradigma Keadilan Restoratif vs. Keadilan Retributif
Aspek Perbandingan | Keadilan Retributif | Keadilan Restoratif |
Fokus Utama | Hukuman pelaku | Pemulihan korban dan komunitas |
Definisi Kejahatan | Pelanggaran terhadap undang-undang/negara | Pelanggaran terhadap manusia dan hubungan |
Tujuan Keadilan | Mengembalikan “utang moral” melalui penderitaan | Memperbaiki kerugian dan membangun hubungan kembali |
Peran Korban | Saksi pasif; pihak yang terabaikan | Partisipan aktif dalam proses pemulihan |
Peran Negara | Perwakilan korban dan penuntut | Fasilitator dan pendukung proses |
Tipe Pertanggungjawaban | Didefinisikan sebagai hukuman | Didefinisikan sebagai tindakan memperbaiki kerugian |
Orientasi Waktu | Masa lalu (“Apakah dia melakukannya?”) | Masa depan (“Apa yang harus dilakukan?”) |
Tabel ini menunjukkan bahwa pergeseran dari retributif ke restoratif adalah pergeseran dari sistem yang dikendalikan oleh negara dan berfokus pada individu (pelaku), ke sistem yang dikendalikan oleh komunitas dan berfokus pada hubungan. Hal ini merepresentasikan perubahan mendasar dari logika penghukuman (imposition of pain) menjadi logika pemulihan (restoring both parties).
Keadilan Restoratif dalam Dimensi Historis dan Kultural
Akar Filosofis: Praktik Keadilan Tradisional
Keadilan restoratif bukanlah sebuah konsep yang sepenuhnya baru dalam sejarah peradaban manusia. Sebaliknya, ia dapat dipahami sebagai sebuah “restorasi” dari pendekatan yang sudah sangat tua dan hampir universal. Praktik serupa telah lama menjadi bagian dari tradisi kuno dan budaya masyarakat adat di berbagai belahan dunia, di mana penyelesaian konflik dilakukan melalui dialog, mediasi, dan pemulihan hubungan sosial.
Contoh nyata dari praktik ini adalah Healing and Sentencing Circles yang sering digunakan oleh masyarakat adat di Kanada. Pendekatan ini secara filosofis bertujuan untuk memulihkan pihak-pihak yang terkena dampak langsung dari sebuah kejahatan. Tujuannya adalah menegakkan kembali nilai-nilai komunitas setempat untuk mengintegrasikan ulang mereka yang telah melanggar nilai-nilai tersebut.
Restorasi Keadilan melalui Kearifan Lokal di Indonesia
Di Indonesia, konsep keadilan restoratif tidaklah asing. Sebaliknya, ia dapat dipandang sebagai revitalisasi dari nilai-nilai hukum adat yang telah lama berakar dalam masyarakat. Mekanisme penyelesaian sengketa tradisional di Indonesia sejalan dengan tujuan keadilan restoratif, yaitu mengembalikan keseimbangan kosmik (cosmic balance) dan menciptakan perdamaian antarwarga. Pendekatan ini membuktikan bahwa keadilan restoratif bukanlah adopsi mentah-mentah dari sistem hukum Barat, melainkan merupakan sebuah konsep yang selaras dengan identitas hukum dan budaya nasional.
Nilai-nilai budaya seperti gotong royong dan musyawarah menjadi fondasi filosofis yang kuat bagi implementasi keadilan restoratif di Indonesia. Prinsip musyawarah mengutamakan dialog dan kesepakatan bersama, yang menjadi inti dari proses keadilan restoratif. Dalam konteks ini, keterlibatan tokoh adat sebagai mediator atau fasilitator menjadi kunci keberhasilan, karena kewibawaan dan pengaruh mereka membantu menyelesaikan sengketa dengan cara yang dihormati oleh masyarakat setempat, sehingga meningkatkan rasa keadilan dan penerimaan terhadap hasil proses.
Sebagai contoh, praktik keadilan restoratif ditemukan dalam sistem peradilan pidana adat, seperti yang terlihat pada komunitas Baduy. Penyelesaian kasus di sana dilakukan secara sederhana, dengan mengedepankan prinsip saling memaafkan. Integrasi budaya lokal dalam keadilan restoratif, seperti yang digariskan dalam inisiatif Rumah Restorative Justice, menunjukkan bagaimana konsep ini dapat diimplementasikan secara nyata di tingkat akar rumput dan sejalan dengan nilai-nilai masyarakat yang mengutamakan konsensus dan perdamaian.
Perkembangan Modern: Dari Alternatif Menuju Arus Utama
Sejarah modern keadilan restoratif dimulai pada tahun 1974 di Kitchener, Ontario, Kanada, melalui sebuah kasus vandalisme di mana dua pelaku bertemu langsung dengan para korban mereka. Sejak saat itu, konsep ini terus berkembang menjadi berbagai model terstruktur yang diterapkan di seluruh dunia. Selandia Baru, misalnya, menjadi salah satu pelopor dengan mengadopsi model Family Group Conference yang terinspirasi dari Children, Young Person and their Families Act.
Di Kanada, pendekatan Circles of Support and Accountability (CoSA) menunjukkan bahwa keadilan restoratif dapat diterapkan secara efektif bahkan untuk kasus-kasus serius. Program CoSA yang berfokus pada reintegrasi pelaku kejahatan seksual berisiko tinggi dengan dukungan kelompok sukarelawan terlatih, berhasil menurunkan tingkat residivisme hingga hampir 80%. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa keadilan restoratif memiliki potensi yang jauh lebih dalam daripada sekadar penyelesaian kasus-kasus ringan. Ia menawarkan sebuah mekanisme pencegahan yang lebih kuat dan berjangkauan luas dengan membangun kembali hubungan dan memberikan dukungan sosial, yang pada akhirnya dapat mengubah perilaku pelaku secara fundamental.
Implementasi Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Landasan Hukum dan Kebijakan
Implementasi keadilan restoratif di Indonesia telah diatur dalam berbagai peraturan, meskipun kerangka hukumnya masih bersifat sektoral dan fragmentatif. Landasan hukum yang paling komprehensif adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Undang-undang ini mewajibkan pendekatan keadilan restoratif dalam seluruh proses penyelesaian perkara anak, mulai dari tahap penyelidikan hingga pembimbingan setelah menjalani pidana.
Selain itu, berbagai lembaga penegak hukum telah mengeluarkan kebijakan teknis untuk menerapkan keadilan restoratif. Contohnya termasuk Peraturan Kejaksaan Agung Nomor 15 Tahun 2020 dan Peraturan Kepolisian Negara RI Nomor 8 Tahun 2021. Kebijakan ini menunjukkan komitmen institusional untuk mengintegrasikan pendekatan restoratif dalam praktik penegakan hukum di Indonesia, meskipun penerapannya masih terbatas pada kasus-kasus tertentu.
Mekanisme Utama dan Ruang Lingkup Penerapan
Mekanisme utama penerapan keadilan restoratif dalam konteks hukum pidana anak adalah Diversi, yaitu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar pengadilan. Diversi dapat diterapkan pada anak yang berusia 12 hingga 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara di bawah 7 tahun. Proses ini dilaksanakan melalui musyawarah yang difasilitasi oleh hakim atau petugas, dengan tujuan mencapai kesepakatan diversi.
Kesepakatan diversi dapat mencakup berbagai bentuk, seperti perdamaian dengan atau tanpa ganti rugi, penyerahan anak kembali kepada orang tua, keikutsertaan dalam pendidikan, atau pelayanan masyarakat. Jika proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan tersebut tidak dilaksanakan, maka perkara dapat dilanjutkan ke proses peradilan pidana.
Di luar kasus anak, keadilan restoratif juga diterapkan pada tindak pidana ringan, kasus yang melibatkan perempuan yang berhadapan dengan hukum, dan kasus-kasus narkotika.
Inisiatif Komunitas: Studi Kasus “Rumah Restorative Justice”
Salah satu wujud nyata implementasi keadilan restoratif di Indonesia adalah inisiatif Rumah Restorative Justice. Inisiatif ini, yang didukung oleh pemerintah daerah dan komunitas, menjadi contoh konkret bagaimana prinsip-prinsip keadilan restoratif dapat diterapkan di tingkat akar rumput.
Rumah Restorative Justice berfungsi sebagai tempat musyawarah dan mediasi untuk menyelesaikan masalah hukum secara kekeluargaan sebelum perkara dibawa ke pengadilan. Inisiatif ini selaras dengan nilai-nilai lokal yang mengutamakan dialog, negosiasi, dan perdamaian dalam menyelesaikan konflik, serta menunjukkan bahwa keadilan restoratif bukanlah sekadar wacana teoritis, melainkan sebuah solusi yang dapat diwujudkan di masyarakat.
Efektivitas dan Tantangan Penerapan Keadilan Restoratif
Manfaat Kuantitatif dan Kualitatif
Studi-studi penelitian telah menghasilkan bukti empiris yang kuat mengenai efektivitas keadilan restoratif, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Keberhasilan ini tidak hanya diukur dari angka statistik, tetapi juga dari pengalaman subjektif para pihak yang terlibat.
Dari segi kuantitatif, analisis kasus menunjukkan korelasi yang signifikan antara penerapan keadilan restoratif dengan penurunan tingkat pengulangan tindak pidana (residivisme). Sebuah studi di Indonesia menemukan bahwa rata-rata tingkat keberhasilan RJ dalam menyelesaikan kasus anak mencapai 60%, dengan penurunan tingkat residivisme hingga 45% dibandingkan sistem peradilan formal. Temuan serupa juga dilaporkan secara global, di mana program RJ berhasil mengurangi angka residivisme dan meningkatkan rehabilitasi pelaku. Selain itu, penerapan RJ membantu mengurangi beban kerja pengadilan dan mengatasi masalah kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan, sehingga meningkatkan efisiensi sistem peradilan pidana.
Dari segi kualitatif, manfaat utama keadilan restoratif adalah peningkatan kepuasan korban dan akuntabilitas pelaku. Korban yang berpartisipasi dalam proses RJ melaporkan tingkat kepuasan yang lebih tinggi, merasa didengarkan, dihormati, dan diakui sepanjang proses. Proses dialog membantu mereka mengatasi trauma dan mencegah viktimisasi sekunder, yang sering terjadi dalam sistem peradilan konvensional di mana korban merasa terpinggirkan. Sementara itu, pelaku yang terlibat dalam RJ menunjukkan tingkat akuntabilitas yang lebih tinggi karena mereka secara langsung dihadapkan pada dampak perbuatan mereka terhadap korban dan komunitas.
Tabel 2: Data Efektivitas Keadilan Restoratif
Aspek Keberhasilan | Hasil Studi di Indonesia | Hasil Studi Global |
Tingkat Keberhasilan Kasus Anak | Rata-rata 60% | – |
Penurunan Tingkat Residivisme | 45% (kasus anak) | Lebih rendah dibandingkan kasus konvensional |
Kepuasan Korban | Memperoleh rasa keadilan dan pemulihan | Tingkat kepuasan yang lebih tinggi |
Akuntabilitas Pelaku | Mendorong tanggung jawab dan perbaikan kerugian | Akuntabilitas yang lebih tinggi |
Kritik dan Hambatan Implementasi
Meskipun keadilan restoratif menawarkan manfaat yang signifikan, implementasinya di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan yang serius. Kritik terhadap konsep ini bukanlah penolakan total, melainkan manifestasi dari ketegangan antara idealisme konsep dan realitas praktik.
Kritik utama dari pihak kontra adalah kekhawatiran bahwa keadilan restoratif tidak memberikan efek jera yang memadai bagi pelaku, sehingga berpotensi mendorong pengulangan tindak pidana. Selain itu, terdapat argumen bahwa RJ kurang memberikan perlindungan yang memadai bagi korban dan dapat menimbulkan diskriminasi dalam penerapan hukum, di mana putusan yang berbeda dijatuhkan untuk kasus-kasus yang serupa.
Hambatan implementasi juga bersifat institusional. Pertama, belum ada aturan setingkat undang-undang yang komprehensif mengenai keadilan restoratif, yang menyebabkan penerapan masih bersifat sektoral dan tidak seragam. Kedua, terdapat kurangnya pemahaman dan pelatihan yang memadai bagi aparat penegak hukum, yang sering kali masih berpegang pada mentalitas retributif. Resistensi dari institusi dan praktisi tradisional ini menjadi salah satu tantangan terbesar.
Selain itu, terdapat hambatan sosial dan sumber daya. Kurangnya sosialisasi kepada publik membuat masyarakat kurang memahami konsep dan manfaat RJ, yang dapat menciptakan resistensi dan stigma negatif terhadap proses tersebut. Keterbatasan fasilitas rehabilitasi dan sumber daya pendukung lainnya juga menjadi kendala praktis dalam memastikan keberhasilan proses restoratif.
Model-Model dan Studi Kasus Komparatif
Model-Model Keadilan Restoratif Global
Secara global, keadilan restoratif telah dikembangkan menjadi beberapa model yang berhasil. Family Group Conference yang berasal dari Selandia Baru, berfokus pada pertemuan antara korban, pelaku, dan keluarga mereka untuk mencapai solusi yang disepakati bersama. Model ini memberikan peran sentral kepada keluarga dan komunitas dalam proses pemulihan.
Model lain adalah Healing and Sentencing Circles, yang dipraktikkan oleh masyarakat adat di Kanada. Pendekatan ini bertujuan untuk memulihkan hubungan dan menegakkan kembali nilai-nilai komunitas melalui dialog melingkar yang melibatkan semua pihak yang terkena dampak.
Studi Kasus Internasional
Implementasi keadilan restoratif di Selandia Baru menawarkan banyak contoh nyata. Dalam sebuah kasus penyerangan, pelaku yang menyerang pasangannya meminta maaf dan setuju untuk mencari dukungan medis. Korban menerima permintaan maaf tersebut dan menyatakan tidak ingin pelaku dipenjara. Contoh lain, dalam kasus pencurian, seorang pelaku yang dipenjara karena kecanduan narkoba mendengarkan dampak emosional kejahatannya pada keluarga korban dan membuat komitmen untuk berubah, yang membuat korban merasa terpulihkan meskipun barang curian tidak kembali. Bahkan dalam kasus yang jauh lebih serius seperti kecelakaan yang menyebabkan kematian, keluarga korban dapat memaafkan pengemudi dan menyarankan agar ia mencari konseling, menunjukkan bahwa keadilan restoratif mampu memulihkan hubungan bahkan dalam kondisi yang paling tragis.
Studi Kasus Keadilan Restoratif di Indonesia
Di Indonesia, penerapan keadilan restoratif yang paling terperinci terlihat dalam kasus tindak pidana anak melalui mekanisme diversi. Berbagai studi kasus menunjukkan tingkat keberhasilan yang tinggi, dengan data yang mengindikasikan bahwa 60% kasus anak yang menggunakan pendekatan ini berhasil diselesaikan di luar pengadilan, dan terjadi penurunan tingkat residivisme sebesar 45%. Keberhasilan ini didukung oleh partisipasi aktif dari komunitas dan peran aparat penegak hukum yang mengutamakan dialog dan rekonsiliasi.
Prospek dan Rekomendasi Strategis
Potensi keadilan restoratif dalam mereformasi sistem peradilan pidana di Indonesia sangat besar. Namun, untuk mengoptimalkan penerapannya, diperlukan langkah-langkah strategis yang terstruktur untuk mengatasi tantangan yang ada.
Mengembangkan Kerangka Hukum yang Kuat dan Komprehensif
Langkah pertama yang krusial adalah membangun landasan hukum yang kokoh. Saat ini, keadilan restoratif diatur dalam berbagai peraturan sektoral yang tidak terintegrasi. Pembentukan sebuah Undang-Undang Keadilan Restoratif yang tunggal dan komprehensif akan memberikan kepastian hukum, mencegah inkonsistensi, dan memastikan penerapan yang seragam di seluruh tingkat peradilan.
Membangun Kapasitas Aparat Penegak Hukum dan Mediator
Resistensi dan kurangnya pemahaman di kalangan praktisi hukum merupakan hambatan utama. Oleh karena itu, diperlukan investasi besar dalam program pelatihan wajib dan berkelanjutan tentang prinsip dan mekanisme keadilan restoratif bagi semua aparat penegak hukum, termasuk polisi, jaksa, dan hakim. Indonesia dapat belajar dari pengalaman Selandia Baru yang memiliki program pelatihan dan akreditasi khusus untuk fasilitator keadilan restoratif.
Meningkatkan Keterlibatan Korban dan Komunitas
Keadilan restoratif tidak dapat berjalan efektif tanpa partisipasi aktif korban dan komunitas. Sistem harus dirancang untuk memberdayakan korban, memberikan mereka informasi yang jelas dan dukungan yang memadai, serta memastikan suara mereka didengar dan diakui dalam proses. Selain itu, inisiatif berbasis komunitas seperti Rumah Restorative Justice harus didukung dan dikembangkan lebih lanjut sebagai pilar utama dalam sistem peradilan informal.
Mendorong Sosialisasi dan Edukasi Publik
Kurangnya pemahaman publik merupakan tantangan sosial yang signifikan. Diperlukan kampanye sosialisasi yang masif dan berkelanjutan untuk mengedukasi masyarakat tentang manfaat keadilan restoratif, sehingga dapat mengurangi stigma dan meningkatkan dukungan terhadap pendekatan ini. Edukasi ini juga harus mencakup sekolah, di mana keadilan restoratif dapat diterapkan untuk menyelesaikan konflik antarsiswa dan membangun budaya empati dan kolaborasi.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, keadilan restoratif mewakili sebuah pergeseran paradigma yang vital, beralih dari model penghukuman yang tidak efektif menuju model pemulihan yang berfokus pada manusia. Konsep ini memiliki keselarasan historis dan filosofis yang kuat dengan nilai-nilai kearifan lokal di Indonesia, menjadikannya sebuah pendekatan yang tidak hanya relevan, tetapi juga otentik.
Meskipun bukti efektivitasnya, terutama dalam mengurangi residivisme dan meningkatkan kepuasan korban, sudah jelas, implementasinya masih terbatas oleh tantangan struktural dan institusional. Masa depan keadilan restoratif di Indonesia bergantung pada kemauan politik untuk membangun kerangka hukum yang kokoh, investasi dalam perubahan budaya di kalangan praktisi hukum, dan pemberdayaan aktif masyarakat. Dengan mengatasi tantangan-tantangan ini, keadilan restoratif memiliki potensi untuk tidak hanya menyelesaikan kasus, tetapi juga mereformasi fundamental sistem peradilan pidana menuju model yang lebih inklusif, manusiawi, dan holistik, yang pada akhirnya akan memperkuat harmoni dan keadilan dalam masyarakat.