Organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam di Indonesia merupakan entitas fundamental yang perannya melampaui ranah spiritual dan keagamaan. Secara definisi, ormas Islam dapat dipahami sebagai organisasi berbasis massa yang disatukan oleh tujuan untuk memperjuangkan tegaknya ajaran Islam sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, serta untuk memajukan umat dalam berbagai bidang, termasuk agama, pendidikan, sosial, dan budaya. Kehadiran mereka tidak hanya bersifat sukarela, melainkan telah menjadi pilar penting dalam struktur sosial dan kebangsaan Indonesia. Peran ini tidak pernah dapat dipisahkan dari sejarah panjang negara, di mana ormas Islam telah berkontribusi signifikan sejak masa pra-kemerdekaan hingga era modern.
Sejak awal abad ke-20, ormas Islam telah tampil sebagai “motor penggerak” dalam pergerakan nasional. Sarekat Islam (SI), yang didirikan di tengah pergolakan sosial-politik hebat di Hindia Belanda, menjadi salah satu organisasi modern pertama yang menampilkan ideologi anti-kolonialisme. Organisasi ini dibentuk untuk melawan dominasi ekonomi dan politik Eropa dan Tiongkok terhadap pribumi. Bersamaan dengan itu, Muhammadiyah, yang didirikan pada tahun 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan, berfokus pada pendekatan “edukatif pedagogis” untuk mencerdaskan bangsa. Muhammadiyah, melalui pendirian panti asuhan, rumah sakit, dan sekolah-sekolah modern, tidak hanya berdakwah tetapi juga berjuang untuk meningkatkan taraf hidup dan melawan praktik-praktik yang dianggap syirik di masyarakat. Kontribusi mereka dalam perjuangan kemerdekaan juga bersifat proaktif, yang tercermin dalam “Amanat Jihad Muhammadiyah” pada tahun 1946.
Pasca-kemerdekaan, dinamika ormas Islam mengalami transformasi dari perjuangan fisik ke arah pembangunan negara. Mereka tetap menunjukkan peran pentingnya dalam mempengaruhi proses pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui perjuangan politik, serta di bidang sosial, pendidikan, dan dakwah. Kehadiran tokoh-tokoh Islam dalam panggung politik nasional menunjukkan bahwa hubungan antara Islam dan politik tidak pernah terpisahkan dalam sejarah Indonesia. Dalam konteks ini, keberadaan ormas Islam dipandang sebagai entitas unik yang tidak ada di negara lain. Pemerintah, melalui Kementerian Agama, secara eksplisit mengakui ormas sebagai “fondasi utama negara” dan “mitra strategis” yang keberadaannya vital untuk memfasilitasi program-program pemerintah. Mereka berfungsi sebagai jembatan komunikasi dua arah yang efektif antara pemerintah dan masyarakat. Ketergantungan dan pengakuan ini mengindikasikan bahwa ormas Islam di Indonesia memiliki status yang melampaui peran organisasi masyarakat sipil biasa; mereka merupakan pilar institusional yang menyatu dengan struktur negara, menunjukkan hubungan simbiosis yang kuat antara agama, masyarakat, dan pemerintahan.
Profil Dua Pilar Utama: NU dan Muhammadiyah sebagai Arsitek Moderasi Bangsa
Di antara ribuan ormas Islam yang ada, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah adalah dua organisasi terbesar yang secara kolektif membentuk lanskap keislaman di Indonesia. Kedua organisasi ini memiliki sejarah, ideologi, dan strategi yang berbeda namun sama-sama berperan sebagai garda terdepan dalam menjaga moderasi dan stabilitas bangsa.
Nahdlatul Ulama (NU): Penjaga Tradisi dan Pragmatisme Kebangsaan
Nahdlatul Ulama (NU) didirikan pada tahun 1926 oleh K.H. Hasyim Asy’ari sebagai respons terhadap gerakan modernisme Islam yang dipelopori oleh Muhammadiyah dan kelompok puritan lainnya, serta sebagai upaya untuk melestarikan tradisi dan kearifan lokal Islam Nusantara yang telah mengakar kuat di masyarakat. Ideologi mereka, yang dikenal sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah an-Nahdliyah, berfokus pada penguatan tradisi keilmuan yang berbasis pada salah satu dari empat mazhab utama (Hanafi, Maliki, Syafi’i, atau Hambali). Pendekatan ini menjadikan NU sangat akomodatif terhadap kebudayaan lokal, sebuah ciri yang membuatnya berbeda dari gerakan puritan di negara lain.
Secara struktural, NU memiliki organisasi yang bersifat egaliter dan desentralistik. Struktur kepemimpinan mereka terdiri dari enam tingkatan, dimulai dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di tingkat nasional hingga Pengurus Anak Ranting Nahdlatul Ulama (PARNU) di tingkat dusun. Ciri khas kepemimpinan NU adalah adanya dualisme antara Syuriyah (Dewan Penasihat) yang diisi oleh para ulama dan bertanggung jawab atas urusan keagamaan, dan Tanfidziyah (Dewan Pelaksana) yang mengurus kegiatan sehari-hari organisasi. Model ini merefleksikan penghormatan mendalam terhadap otoritas ulama sebagai penentu arah gerakan.
Kontribusi NU sangat nyata dalam pemberdayaan masyarakat, terutama di daerah pedesaan, melalui pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Mereka memainkan peran sentral dalam pengembangan pendidikan berbasis pesantren, yang tidak hanya berfungsi sebagai pusat pembelajaran agama tetapi juga mengajarkan keterampilan hidup, ilmu pengetahuan umum, dan nilai-nilai kebangsaan. Dalam ranah politik, NU dikenal dengan pandangan “politik kebangsaan” yang menekankan tanggung jawab dalam menjaga keutuhan NKRI dan Pancasila. Keterlibatan mereka dalam politik praktis terwujud melalui pendirian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang lahir dari rahim NU pada era reformasi. Meskipun hubungan antara PBNU dan PKB terkadang mengalami dinamika, PKB tetap menjadi kendaraan politik utama bagi warga Nahdliyin.
Muhammadiyah: Gerakan Pembaharuan dan Aksi Nyata
Muhammadiyah didirikan pada tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta oleh K.H. Ahmad Dahlan. Gerakan ini muncul dengan semangat Tajdid (pembaharuan) dan purifikasi (pemurnian) ajaran Islam dari praktik-praktik yang dianggap bid’ah dan khurafat. Muhammadiyah berfokus pada kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah secara langsung, dengan penekanan pada ijtihad dan modernisme, yang cenderung lebih rasional dan kritis dalam memahami teks-teks agama.
Struktur organisasi Muhammadiyah lebih hierarkis dan sentralistik. Operasionalnya digerakkan oleh berbagai majelis dan lembaga, seperti Majelis Tarjih dan Tajdid yang bertugas merumuskan fatwa keagamaan, serta Majelis Pendidikan yang mengelola ribuan lembaga pendidikan. Motor utama gerakan ini adalah Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), yang merupakan manifestasi nyata dari dakwah mereka. Ribuan AUM tersebar di seluruh Indonesia, mulai dari sekolah dasar, universitas, rumah sakit, klinik, panti asuhan, hingga lembaga filantropi (LAZISMU). Jaringan AUM ini tidak hanya melayani umat Islam tetapi seluruh lapisan masyarakat, sehingga memberikan kontribusi signifikan terhadap pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi bangsa.
Dalam ranah politik, Muhammadiyah menganut sikap “netral-aktif”. Artinya, Muhammadiyah sebagai organisasi tidak berafiliasi dengan partai politik manapun, namun tetap memainkan peranan politiknya sebagai wujud dakwah amar ma’ruf nahi munkar dengan memengaruhi proses dan kebijakan negara. Warga Muhammadiyah diberikan kebebasan untuk berpartisipasi dalam politik praktis sesuai hati nurani, dengan syarat menjunjung tinggi etika dan moralitas. Tokoh-tokoh terkemuka seperti Amien Rais dan Din Syamsuddin tetap mengamalkan nilai-nilai Kemuhammadiyahan meskipun aktif di panggung politik, dan sering kali dianggap sebagai representasi dari gerakan ini dalam politik praktis.
Analisis Perbandingan: Paradigma NU dan Muhammadiyah
Perbedaan antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah seringkali disederhanakan sebagai dikotomi antara tradisionalis dan modernis. Namun, analisis yang lebih dalam menunjukkan bahwa perbedaan ini lebih pada metodologi dan pendekatan, bukan pada esensi keislaman atau komitmen kebangsaan. Keduanya mewakili spektrum moderasi yang unik di Indonesia.
Ideologi dan Pendekatan Keagamaan: Dinamika Tradisi vs. Modernisme
Perbedaan yang paling mencolok terletak pada pendekatan keagamaan mereka. NU, sebagai organisasi yang berlandaskan mazhab, cenderung lebih akomodatif terhadap tradisi dan praktik keagamaan lokal yang tidak bertentangan dengan syariat. Mereka menerima konsep bid’ah hasanah, atau inovasi yang baik, selama memiliki dasar dalam syariat, meskipun tidak dilakukan oleh ulama terdahulu. Muhammadiyah, sebaliknya, berpendekatan lebih puritan, menekankan pemurnian dari segala bentuk bid’ah atau inovasi yang tidak memiliki landasan kuat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Perbedaan ini sering terlihat dalam isu-isu seperti qunut dalam shalat Subuh, tradisi tahlilan, dan perayaan maulid Nabi.
Metodologi penentuan hari besar Islam juga mencerminkan perbedaan ini. Muhammadiyah mengandalkan metode hisab (perhitungan astronomi), sementara NU sering menggunakan metode rukyatul hilal (melihat bulan). Meskipun berbeda, kedua metode ini sama-sama diakui secara ilmiah dan keagamaan, menunjukkan adanya toleransi dalam perbedaan praktik.
Meskipun terdapat perbedaan ini, label “tradisionalis” dan “modernis” tidak secara langsung berarti “konservatif” atau “radikal” dalam konteks Indonesia. Analisis terhadap ideologi mereka menunjukkan bahwa NU, dengan pendekatannya yang akomodatif, telah secara efektif mencegah tumbuhnya fundamentalisme yang menolak budaya lokal. Muhammadiyah, dengan semangat pemurniannya yang rasional, telah berhasil memodernisasi pemahaman Islam dan membangun institusi-institusi modern yang memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Keduanya, melalui jalur yang berbeda, menjadi benteng utama melawan ekstremisme dan intoleransi. Keberadaan dua paradigma yang berbeda namun moderat ini telah memperkaya dan menstabilkan lanskap keagamaan di Indonesia, menunjukkan bahwa moderasi dapat dicapai melalui berbagai cara.
Peran Sosial dan Politik: Gerakan Kultural vs. Gerakan Aksi Terorganisir
Dalam ranah politik, kedua ormas ini juga memiliki strategi yang berbeda. NU cenderung terlibat dalam politik tingkat tinggi (high politics) melalui afiliasi dan kelahiran partai politik. Partisipasi mereka dalam pembangunan politik mengacu pada Pancasila dan UUD 1945, serta menjunjung tinggi etika dan musyawarah. Muhammadiyah, di sisi lain, lebih memilih strategi gerakan kultural atau politik tingkat rendah (low politics). Mereka memengaruhi proses politik secara tidak langsung melalui pendidikan, advokasi, dan peran sebagai “kekuatan moral” yang mengkritik pemerintah agar tetap lurus dan berorientasi pada kepentingan rakyat.
Tabel 1: Perbandingan NU dan Muhammadiyah
Aspek | Nahdlatul Ulama (NU) | Muhammadiyah |
Pendiri | K.H. Hasyim Asy’ari | K.H. Ahmad Dahlan |
Tahun Berdiri | 1926 | 1912 |
Jumlah Anggota | >90 juta | 40-50 juta |
Ideologi Utama | Tradisionalis-Moderat | Modernis-Puritan |
Pendekatan Keagamaan | Akomodatif terhadap tradisi | Purifikasi dari bid’ah |
Struktur Organisasi | Egaliter, desentralistik , Syuriyah-Tanfidziyah | Hierarkis, sentralistik , Majelis |
Fokus Pendidikan | Pesantren | Sekolah modern, universitas |
Keterlibatan Politik | Langsung, melalui PKB | Tidak langsung, “netral-aktif” |
Spektrum Ormas Islam Lainnya: Dinamika Ideologi dan Tantangan Negara
Selain NU dan Muhammadiyah, lanskap ormas Islam di Indonesia sangat beragam. Ada sejumlah ormas moderat lainnya yang memiliki pengaruh signifikan. Berikut adalah beberapa ormas tersebut beserta sejarah, ideologi, dan kontribusinya:
Persatuan Islam (Persis)
Didirikan pada 12 September 1923 di Bandung, Jawa Barat, Persatuan Islam (Persis) awalnya merupakan gerakan intelektual Muslim yang dipelopori oleh Haji Zamzami dan Haji Muhammad Yunus. Organisasi ini memiliki ciri khas yang berbeda dengan ormas lain pada masanya, yaitu fokus pada pembentukan pemahaman keagamaan yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan semangat tajdid (pembaharuan), Persis berupaya memurnikan ajaran Islam dari praktik-praktik yang dianggap sesat dan menyesatkan, seperti takhayul dan khurafat.
Kiprah Persis semakin mengemuka setelah bergabungnya Ustaz A. Hassan pada tahun 1924, yang dikenal sebagai “singa podium” karena kepiawaiannya dalam berdebat. Persis memfokuskan kegiatan mereka pada dakwah, pendidikan, dan penerbitan karya tulis keislaman. Di bidang pendidikan, Persis menawarkan kurikulum yang seimbang antara pengetahuan agama dan pengetahuan umum, dengan mendirikan sekolah dan pesantren. Dalam pergerakan politik, Persis juga terlibat aktif, terutama melalui manifesto politik yang bertujuan menentang komunisme pada masa Orde Lama.
Al Jam’iyatul Washliyah (Al Washliyah)
Al Jam’iyatul Washliyah (Al Washliyah) didirikan pada 30 November 1930 di Medan, Sumatera Utara, dari perhimpunan pelajar Maktab Islamiyah Tapanuli. Ideologi ormas ini berdasarkan Islam tradisional mazhab Syafi’i dan Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Al Washliyah dikenal sebagai organisasi yang berpegang teguh pada tradisi, dan sikap toleran (tasamuh) terhadap perbedaan pendapat adalah salah satu ciri khasnya.
Organisasi ini sangat aktif di bidang pendidikan, sosial, dan dakwah. Mereka berupaya meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat dengan mendirikan berbagai madrasah dan sekolah. Para pendiri Al Washliyah juga dikenal karena semangat juang mereka dalam memperjuangkan Islam di Sumatera Utara, baik melalui pendidikan, dakwah, maupun sosial-politik. Hingga saat ini, Al Washliyah berkontribusi dalam memperkokoh persatuan dan kerukunan bangsa.
Nahdlatul Wathan (NW)
Nahdlatul Wathan (NW) adalah ormas Islam terbesar di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang didirikan pada 1 Maret 1953 oleh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Organisasi ini bergerak dalam bidang pendidikan, sosial, dan dakwah Islamiyah, dengan tujuan utama mengelola lembaga-lembaga pendidikan.
NW memiliki visi kebangsaan yang sangat nasionalis, yang mereka sebut sebagai Nasionalisme-Religius. Ideologi ini menekankan bahwa nasionalisme harus dibangun di atas nilai-nilai agama dan tidak keluar dari prinsip-prinsip Islam. Dalam banyak hal, visi kebangsaan dan keislaman NW mirip dengan NU, karena keduanya sama-sama menerima Pancasila sebagai asas organisasi dan berakidah Ahlussunnah wal Jama’ah.
Gerakan Islam Radikal: Ideologi dan Bentuk Aksi Konfrontatif
Beberapa ormas, yang sering disebut sebagai kelompok radikal, memiliki ideologi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Pancasila dan pluralisme. Front Pembela Islam (FPI), yang didirikan pada tahun 1998, berideologi Islamisme radikal dengan tujuan utama untuk menegakkan hukum syariat di Indonesia. FPI dikenal dengan aksi-aksi nyata dan konfrontatif yang bertujuan untuk memberantas kemaksiatan. Aksi-aksi mereka sering kali dianggap melanggar hukum dan memicu kontroversi, seperti penyerangan terhadap kelompok minoritas (Ahmadiyah) dan protes kekerasan terhadap pembangunan gereja. Mereka juga menunjukkan sentimen negatif terhadap etnis Tionghoa dan menyebarkan narasi anti-komunis sebagai motivasi politik.
Sementara itu, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah cabang dari organisasi internasional Hizbut Tahrir. Ideologi mereka berorientasi pada penciptaan kembali masyarakat Islami melalui penegakan Khilafah, yang secara fundamental bertentangan dengan sistem negara demokrasi. HTI dianggap sebagai kelompok neo-fundamentalisme yang menghendaki perubahan mendasar pada sistem sosial-politik yang ada.
Status Hukum dan Implikasi Pembubarannya
Sebagai respons terhadap ideologi dan aksi yang dianggap mengancam stabilitas dan keutuhan bangsa, pemerintah telah mengambil langkah tegas terhadap kelompok-kelompok ini. Pada tahun 2017, pemerintah secara resmi membubarkan HTI dan mencabut status badan hukumnya melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017. Kemudian, pada akhir tahun 2020, FPI juga dibubarkan secara hukum melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) enam kementerian dan lembaga. Alasan pembubaran FPI mencakup pelanggaran hukum, tindakan kekerasan, dan tuduhan hubungan dengan terorisme.
Namun, pembubaran secara legal tidak sepenuhnya menghilangkan pergerakan mereka. Data menunjukkan bahwa meskipun status hukumnya dicabut, aktivitas HTI masih berlangsung dalam intensitas terbatas dan seringkali tanpa identitas organisasi yang jelas. Situasi ini menunjukkan sebuah dilema: tindakan hukum hanya mengatasi struktur formal organisasi, sementara ideologi dan keyakinan individu yang mendasarinya dapat terus hidup dan beradaptasi. Oleh karena itu, tantangan yang lebih besar bagi negara adalah pertempuran ideologis di tingkat masyarakat. Hal ini semakin memperkuat peran krusial ormas moderat seperti NU dan Muhammadiyah sebagai garda depan dalam program deradikalisasi dan kontra-narasi.
Tabel 2: Status Hukum Ormas Radikal yang Dibubarkan
Nama Ormas | Ideologi Utama | Tahun Pembubaran | Dasar Hukum | Status Terkini |
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) | Khilafah, anti-Pancasila | 2017 | Perppu No. 2 Tahun 2017 | Dibubarkan secara hukum, namun aktivitas individual dan kelompok masih berlangsung |
Front Pembela Islam (FPI) | Penegakan Syariat, anti-pluralisme | 2020 | SKB 6 Kementerian/Lembaga | Dibubarkan secara hukum dan dilarang segala aktivitas serta penggunaan simbolnya |
Hubungan dengan Negara dan Dinamika Kontemporer
Organisasi massa Islam di Indonesia tidak hanya berperan sebagai institusi independen, tetapi juga sebagai mitra strategis pemerintah dalam berbagai aspek pembangunan. Pemerintah memandang ormas Islam sebagai elemen sentral untuk menancapkan nilai-nilai kebangsaan dan mendorong mereka menjadi “motor penggerak” dalam menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa. Ormas juga berfungsi sebagai wadah aspirasi masyarakat yang membantu pemerintah dalam mengawasi dan mengevaluasi program pembangunan.
Peran dalam Demokrasi dan Pemilu: Penjaga Kredibilitas dan Stabilitas
Dalam lanskap politik, ormas Islam memiliki peran penting sebagai stabilisator, terutama di masa-masa sensitif seperti pemilu. Meskipun pengaruh politik mereka sangat besar, NU dan Muhammadiyah secara institusional menunjukkan sikap netral. Klaim dan hoaks tentang dukungan resmi mereka terhadap kandidat tertentu seringkali beredar, namun PBNU dan PP Muhammadiyah secara tegas membantah dukungan tersebut. Sebaliknya, mereka mengeluarkan seruan bersama untuk terwujudnya “kepemimpinan moral” pada Pemilu 2024, yang ditujukan kepada semua pihak—bukan hanya kandidat, tetapi juga partai politik dan masyarakat.
Peran mereka dalam menjaga independensi dan kredibilitas pemilu juga terlihat dari keterlibatan kader mereka di lembaga-lembaga pengawas seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Hal ini menunjukkan bahwa ormas-ormas ini tidak hanya menjadi objek politik yang diperebutkan, tetapi juga subjek aktif yang berupaya melindungi integritas demokrasi. Dengan menjaga independensi institusional dan menyebarkan pendidikan politik, mereka berfungsi sebagai jaring pengaman, mencegah polarisasi politik berbasis agama yang ekstrem.
Kontribusi pada Deradikalisasi dan Moderasi Beragama
NU dan Muhammadiyah juga menjadi garda terdepan dalam menanggulangi penyebaran paham radikalisme dan intoleransi. NU, melalui program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), secara proaktif masuk ke sekolah-sekolah untuk melawan paham radikal yang menyasar generasi muda. Mereka berkolaborasi dengan pemerintah dalam upaya deradikalisasi ini, dengan pendekatan yang berbasis pada kaderisasi dan penguatan narasi Islam Nusantara.
Muhammadiyah, meskipun menghindari penggunaan istilah “radikalisme-deradikalisasi” yang dianggap rancu, secara konsisten mempromosikan ideologi moderasi. Gerakan Counter Violence Muhammadiyah Movement berfokus pada penguatan pendidikan, dakwah, dan kerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan untuk menciptakan masyarakat yang damai dan toleran. Kedua ormas ini secara kolektif berupaya melawan narasi ekstremisme dengan mengedepankan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam) dan wasathiyyah (jalan tengah).
Kesimpulan dan Outlook Masa Depan
Ulasan ini menyimpulkan bahwa ormas Islam di Indonesia adalah entitas yang kompleks, multidimensional, dan tak terpisahkan dari lanskap kebangsaan. Peran mereka telah berkembang dari motor penggerak perjuangan kemerdekaan menjadi pilar utama masyarakat sipil dan stabilitas negara. Perbedaan ideologis antara NU dan Muhammadiyah, yang sering menjadi fokus perdebatan, pada kenyataannya merupakan manifestasi dari dua jalur moderasi yang berbeda namun sama-sama efektif. NU, dengan pendekatan akomodatifnya terhadap tradisi, berhasil merangkul keberagaman budaya. Sementara Muhammadiyah, dengan semangat purifikasi dan modernisasinya, berhasil membawa Islam ke ranah ilmu pengetahuan dan institusional. Keduanya, melalui Amal Usaha dan jaringan yang luas, telah memberikan kontribusi nyata dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial, dan ekonomi yang melayani seluruh lapisan masyarakat, tanpa memandang latar belakang.
Hubungan simbiosis antara ormas Islam dan negara, yang dilihat sebagai “mitra strategis” dan “fondasi utama negara,” menjadi ciri khas unik Indonesia. Dalam menghadapi tantangan kontemporer seperti penyebaran disinformasi dan ideologi radikal, ormas-ormas moderat ini mengambil peran sebagai penjaga demokrasi dan penyebar kontra-narasi. Meskipun pemerintah telah mengambil langkah tegas terhadap ormas radikal, tantangan ideologis tetap ada. Oleh karena itu, keberlanjutan peran ormas moderat sangat krusial sebagai agen deradikalisasi dan pembinaan masyarakat. Keberhasilan Indonesia dalam menjaga harmoni dan mempromosikan Islam yang moderat di kancah global sangat bergantung pada dinamika dan kontribusi ormas-ormas ini, yang terus beradaptasi dan memperkuat posisinya sebagai arsitek peradaban bangsa.