Memahami Jejak Sejarah dan Kontinuitas Perjuangan

Gerakan serikat pekerja/buruh di Indonesia bukanlah fenomena yang muncul secara tiba-tiba, melainkan memiliki akar historis yang mendalam dan terbentang panjang, dimulai dari masa kolonial Belanda hingga era kontemporer. Sejarah mereka adalah cerminan dari dinamika politik, sosial, dan ekonomi yang terus berubah di setiap era pemerintahan, mulai dari penindasan kolonial, pusaran ideologi politik pada masa kemerdekaan, hingga tantangan ekonomi global dan deregulasi modern. Laporan ini bertujuan untuk menyajikan analisis mendalam dan komprehensif mengenai evolusi serikat buruh di Indonesia, dari bibit awal hingga tantangan dan isu-isu terkini, dengan menyoroti titik balik historis dan tantangan kontemporer.

Analisis dalam tulisan  ini akan dibagi menjadi empat periode utama untuk memberikan narasi kronologis yang jelas dan terstruktur. Pertama, era kolonial dan pendudukan Jepang, yang menyoroti kelahiran serikat buruh sebagai gerakan oposisi radikal. Kedua, masa kemerdekaan awal hingga Orde Lama, di mana serikat buruh berevolusi menjadi aktor politik sentral. Ketiga, era Orde Baru, yang ditandai dengan upaya sistematis untuk menjinakkan dan mendepolitisasi gerakan buruh. Dan keempat, era Reformasi hingga saat ini, yang membawa pluralisme baru namun juga tantangan yang lebih kompleks.

Secara keseluruhan, laporan ini menggarisbawahi beberapa temuan krusial: transformasi peran serikat buruh dari entitas politik menjadi entitas ekonomi, dampak UU Cipta Kerja sebagai titik balik kritis yang memicu kembali militansi gerakan, dan munculnya tantangan baru seperti ekonomi gig dan hak-hak buruh perempuan yang membutuhkan strategi adaptif. Dengan memahami warisan dari setiap era, kita dapat melihat bagaimana masa lalu membentuk tantangan dan peluang yang dihadapi serikat pekerja saat ini.

Bibit Awal dan Perjuangan Melawan Kekuasaan Kolonial (1879-1945)

Pergerakan serikat buruh di Indonesia dimulai jauh sebelum gerakan nasionalis modern mendapatkan momentum. Bibit awal pergerakan ini muncul pada akhir abad ke-19, dipengaruhi oleh pergerakan sosial-demokrat di Belanda yang dibawa oleh kaum intelektual dan terpelajar. Salah satu organisasi pertama yang tercatat adalah Nederland Indische Onderwys Genootschap (NIOG) atau Serikat Pekerja Guru Hindia Belanda, yang didirikan pada tahun 1879. Kehadiran NIOG yang mendahului banyak organisasi pergerakan nasionalis lainnya menunjukkan bahwa kesadaran akan hak-hak pekerja telah berakar dalam masyarakat Indonesia, meskipun awalnya dipimpin oleh warga negara Belanda. Setelah itu, lahirlah serikat-serikat lain di sektor strategis, seperti Pos Bond (serikat pekerja pos) pada 1905, Cultuur Bond dan Zuiker Bond (serikat pekerja perkebunan dan gula) pada 1906, serta Serikat Pekerja Pemerintah pada 1907.

Gerakan buruh semakin radikal dengan berdirinya Vereeniging van Spoor-en Tramweg Pesoneel (VSTP) pada 1908 di Semarang. Organisasi ini memiliki basis massa yang sangat banyak dan unik karena melibatkan semua buruh tanpa membedakan ras, jenis pekerjaan, atau pangkat dalam perusahaan. Di bawah kepemimpinan tokoh-tokoh radikal seperti Semaun dan Sneevliet, organisasi ini menjadi lebih militan dan mempelopori aksi-aksi mogok kerja sebagai bentuk perlawanan. Beberapa pemogokan penting yang tercatat adalah pemogokan pekerja pelabuhan di Surabaya pada 1922 yang menuntut perbaikan nasib , dan pemogokan buruh kereta api di Semarang pada 1926. Hubungan antara majikan dan pekerja pada masa kolonial sangat konfrontatif, dengan majikan menolak perundingan kolektif dan pemerintah kolonial yang represif, bahkan melarang aksi mogok kerja melalui Undang-Undang pada 10 Mei 1923.

Meskipun pergerakan serikat buruh berhasil menantang kekuasaan kolonial, fase gelap datang pada masa pendudukan Jepang (1942-1945). Pemerintah militer Jepang membubarkan semua gerakan kebangsaan, termasuk serikat buruh, dan menggantikan sistem kerja dengan praktik Romusha atau kerja paksa. Buruh dijadikan tenaga kerja untuk keperluan perang, tanpa hak dan upah, yang menanamkan trauma mendalam dan menghancurkan struktur organisasi yang telah dibangun sebelumnya. Namun, semangat perjuangan para buruh tidak sepenuhnya padam, melainkan terus hidup di bawah permukaan, menunggu momentum yang tepat untuk bangkit kembali.

Kehadiran serikat-serikat awal seperti NIOG dan VSTP menunjukkan bahwa pergerakan buruh di Indonesia sejak awal sudah terintegrasi dalam jaringan ideologis global, khususnya dari Eropa. Pengaruh ideologi sosial-demokratik ini membentuk DNA gerakan buruh Indonesia, yang sejak awal sudah memiliki hubungan erat dengan perjuangan politik sayap kiri. Represi pemerintah kolonial, alih-alih mematikan gerakan, justru memicu radikalisasi, mengubahnya dari kelompok oposisi menjadi kekuatan yang menantang status quo secara mendasar.

Buruh dalam Pusaran Politik Nasional (1945-1965)

Pasca-proklamasi kemerdekaan, gerakan buruh bangkit kembali dengan cepat, tidak lagi hanya melawan kolonialisme, tetapi juga menjadi pilar dalam revolusi nasional. Sebulan setelah proklamasi, pada tanggal 15 September 1945, sekelompok tokoh buruh di Jakarta mendirikan Barisan Buruh Indonesia (BBI). BBI dibentuk sebagai wadah persatuan untuk mempertahankan kemerdekaan dan merebut aset-aset ekonomis dari tangan militer Jepang. Pergerakan BBI bersifat radikal, dengan anggotanya membentuk laskar bersenjata yang dikenal sebagai Laskar Buruh Indonesia (LBI) untuk berpartisipasi dalam pertempuran. Pada kongres buruh dan tani pertama di Solo pada 7 November 1945, BBI bertransformasi menjadi Partai Buruh Indonesia (PBI) yang berorientasi politik.

Periode ini sering disebut sebagai “masa keemasan” bagi gerakan buruh. Di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, gerakan buruh mendapatkan ruang gerak yang luas dan memiliki peran besar dalam mempengaruhi kebijakan negara. Serikat buruh tidak hanya diakui, tetapi juga dilibatkan dalam setiap langkah pemerintahan, yang mencerminkan kedekatan pemerintah dengan ideologi politik sayap kiri. Hal ini ditandai dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 yang mengatur jam kerja, upah, perlindungan anak, dan hak pekerja perempuan, serta membebaskan buruh dari kewajiban bekerja pada 1 Mei.

Kehadiran Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), yang merupakan serikat pekerja terbesar saat itu dan berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), menunjukkan betapa sentralnya posisi politik serikat buruh. Peran SOBSI sebagai kekuatan politik dominan dan keterlibatannya dalam aksi-aksi revolusioner menunjukkan bahwa pada era ini, gerakan buruh berfungsi sebagai pilar politik, bukan sekadar entitas ekonomi. Namun, ketergantungan yang kuat pada dinamika politik nasional ini menyimpan benih polarisasi ideologis yang akan meletus pada 1965. Kehancuran SOBSI pasca-1966, yang dibasmi secara brutal oleh rezim Soeharto, menjadi bukti tragis dari ketergantungan ini, menciptakan trauma dan ketidakpercayaan yang membekas hingga kini.

De-politisasi dan Sentralisasi Kekuasaan (1966-1998)

Memasuki era Orde Baru, paradigma pergerakan buruh mengalami pergeseran drastis. Pemerintah Orde Baru, yang fokus pada pembangunan ekonomi dan stabilitas politik, menerapkan kontrol ketat terhadap aktivitas serikat pekerja. Rezim ini berupaya menjinakkan gerakan buruh agar tidak mengganggu jalannya pembangunan industrial yang menjadi fokus utama. Langkah pertama yang diambil adalah menyederhanakan organisasi buruh dengan membentuk wadah tunggal. Pada 1973, dibentuklah Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) di bawah kontrol pemerintah, yang kemudian diubah menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) pada tahun 1985.

Pola intervensi pemerintah ini dikenal sebagai “korporatisme negara” (state corporatism), di mana serikat pekerja dijadikan organ pemerintah. Perubahan nomenklatur dari “buruh” (yang berkonotasi pada perjuangan kelas) menjadi “pekerja” (yang lebih netral dan modern) merupakan bagian dari rekayasa ideologi yang sistematis. Tujuannya adalah untuk mengubah orientasi gerakan dari yang bersifat politis-ideologis menjadi teknokratis-ekonomis, sesuai dengan kerangka “hubungan industrial yang harmonis” yang digaungkan pemerintah.

Meskipun ruang gerak serikat pekerja dibatasi dan suara kritis dibungkam, semangat perlawanan tidak sepenuhnya padam. Munculnya rasa kecewa terhadap SPSI yang dianggap sebagai organ pemerintah memicu unjuk rasa liar (wild cat strike) yang dilakukan oleh buruh. Bahkan, terjadi pemogokan buruh besar-besaran pada 1990-1994, dengan puncaknya di Medan yang melibatkan 25.000 buruh. Perlawanan ini juga ditandai dengan kemunculan serikat-serikat buruh di luar wadah tunggal, seperti Serikat Buruh Merdeka Setia Kawan (SBM) pada 1991 dan Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI) pada 1992, yang menembus rambu-rambu larangan pemerintah.

Kasus Marsinah menjadi simbol yang tak terlupakan dari kebrutalan rezim Orde Baru. Marsinah adalah seorang buruh yang dibunuh pada 8 Mei 1993 setelah memimpin aksi mogok kerja untuk menuntut kenaikan upah di pabrik arloji tempatnya bekerja. Kematiannya, yang menjadi catatan kelam bagi penegakan keadilan dan demokrasi, memicu kesadaran yang lebih luas di kalangan buruh dan aktivis, memperkuat perlawanan bawah tanah, dan melahirkan bibit-bibit serikat independen yang akan bangkit setelah 1998. Warisan Orde Baru, yaitu trauma terhadap politik praktis dan kerangka hubungan industrial yang sentralistis, masih memengaruhi dilema dan fragmentasi gerakan buruh saat ini.

Rekonfigurasi Gerakan Buruh Pasca-Reformasi (1998-Sekarang)

Tumbangnya rezim Orde Baru pada 1998 menjadi titik balik krusial yang memberikan “kebebasan kaum buruh kembali menemui titik terang”. Pemerintah pasca-Soeharto dengan cepat meratifikasi Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat, yang mendorong lahirnya serikat pekerja independen dan pluralisme baru. SPSI Reformasi terbentuk, dan di luar itu, bermunculan serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB) lainnya, termasuk Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).

Pengakuan atas hak berserikat ini diperkuat dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang secara khusus mengatur pelaksanaan hak berserikat bagi pekerja. Era ini ditandai dengan pergeseran orientasi perjuangan dari dominasi politik seperti di Orde Lama, menjadi fokus pada isu-isu sosial dan ekonomi seperti upah, pemutusan hubungan kerja (PHK), dan jaminan sosial. Serikat-serikat pekerja modern, seperti Konfederasi Serikat Buruh Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), menjadi motor utama dalam perjuangan isu-isu tersebut.

Meskipun pluralisme membawa kebebasan, ia juga menciptakan fragmentasi dan dilema strategis bagi gerakan buruh. Hubungan antar serikat seringkali kompetitif dan konfliktual. Kondisi ini berbeda jauh dengan wadah tunggal di era Orde Baru, dan mendorong munculnya LSM-LSM perburuhan yang mengadvokasi hak-hak buruh. Kebangkitan kembali Partai Buruh pada 2021, dengan Said Iqbal (Presiden KSPI) sebagai pemimpinnya, menunjukkan bahwa meskipun ada trauma politik, perjuangan untuk mendapatkan kekuatan politik langsung tetap menjadi strategi yang relevan. Berdirinya partai ini tidaklah acak, melainkan merupakan puncak dari akumulasi kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah, terutama Undang-Undang Cipta Kerja, dan kegagalan lobi-lobi non-politik.

Analisis Kritis: Undang-Undang Cipta Kerja dan Tantangan Kontemporer

Salah satu kontestasi terbesar yang dihadapi gerakan buruh modern adalah pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) pada tahun 2020. Pemerintah merasionalisasikan UU ini sebagai instrumen untuk menyederhanakan birokrasi, menarik investasi, menciptakan lapangan kerja, dan mengatasi tumpang tindih regulasi yang menghambat pertumbuhan ekonomi. Namun, bagi serikat buruh, undang-undang ini adalah titik balik kritis yang dinilai merugikan hak-hak pekerja secara fundamental.

Perbedaan sudut pandang yang tajam ini dapat dilihat dari perbandingan substansi UU Cipta Kerja dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan sebelumnya (UU Nomor 13 Tahun 2003):

Aspek Ketenagakerjaan UU No. 13 Tahun 2003 UU Cipta Kerja
Jam Kerja Lembur Maks. 3 jam/hari, 14 jam/minggu Maks. 4 jam/hari, 18 jam/minggu
Cuti Panjang Diatur undang-undang (1 bulan di tahun ke-7 & 8) Diatur perjanjian kerja/perusahaan
Upah Minimum Terdapat upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan sektoral Penghapusan ketentuan UMK dan upah minimum sektoral, digantikan dengan perhitungan per jam
Pesangon PHK Diatur secara rinci dalam 5 pasal Menghapus 5 pasal terkait pesangon, berpotensi menghilangkan hak pesangon
Pekerja Kontrak (Outsourcing) Batasan waktu maksimal 3 tahun Batasan waktu maksimal dihapus

Tabel di atas secara jelas menunjukkan bagaimana UU Cipta Kerja mengubah lanskap hak-hak buruh. Perpanjangan jam lembur dan penghapusan cuti panjang merupakan ancaman terhadap keseimbangan kerja-hidup. Penghapusan ketentuan upah minimum dan pergeseran ke perhitungan per jam berpotensi membuat upah jauh dari layak dan tidak relevan lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu, kemudahan bagi perusahaan untuk melakukan PHK dan menghilangkan hak pesangon melemahkan perlindungan buruh secara signifikan.

Di luar isu-isu tradisional, gerakan buruh kini menghadapi tantangan baru yang lebih kompleks. Isu-isu buruh perempuan, yang disoroti oleh KASBI dalam audiensi dengan Komnas Perempuan, mencakup tren PHK massal yang menimpa mayoritas pekerja perempuan, kesenjangan upah, risiko kesehatan di sektor perkebunan, dan minimnya fasilitas laktasi dan daycare. Permasalahan ini menunjukkan bahwa perjuangan buruh modern harus melampaui isu-isu upah dan PHK tradisional dan menyentuh ranah hak-hak spesifik berbasis gender.

Selain itu, munculnya ekonomi gig (pekerjaan berbasis platform) juga menjadi tantangan. Model ekonomi ini menawarkan fleksibilitas yang dianggap memberdayakan, khususnya bagi perempuan yang ingin menyeimbangkan tanggung jawab domestik dan pekerjaan. Namun, model ini juga menciptakan ketidakpastian kerja dan mengikis pondasi perjuangan serikat buruh tradisional yang berbasis pada hubungan kerja tetap. Sistem pembayaran yang berbasis produktivitas dapat mengurangi ketidaksetaraan upah berdasarkan gender, tetapi di sisi lain, ketimpangan upah tetap ada berdasarkan perbedaan geografis dan struktur yang ada pada platform.

Kesimpulan

Sejarah pergerakan serikat buruh di Indonesia adalah narasi pasang surut yang penuh dengan kontestasi. Dari perjuangan radikal melawan kolonialisme, peran politik sentral di era kemerdekaan awal, represi sistematis Orde Baru, hingga pluralisme kompleks di era Reformasi, gerakan ini terus bertransformasi. Warisan dari masa lalu—terutama trauma represi dan sentralisasi, serta dilema politik—masih membentuk dinamika gerakan buruh saat ini, yang terlihat dari fragmentasi antar-serikat dan perdebatan strategis tentang apakah harus fokus pada jalur politik atau non-politik.

Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja pada 2020 menunjukkan bahwa kontestasi ideologis antara paradigma pembangunan yang berorientasi pada investasi dan paradigma yang berorientasi pada perlindungan buruh terus berlanjut. Rasionalisasi pemerintah untuk undang-undang tersebut, yaitu untuk menarik investasi, berakar pada gagasan yang serupa dengan rezim Orde Baru. Di sisi lain, isu-isu kontemporer seperti hak-hak buruh perempuan dan tantangan dari ekonomi gig menunjukkan bahwa gerakan buruh harus beradaptasi dengan realitas ekonomi yang semakin kompleks.

Ke depan, arah pergerakan buruh akan bergantung pada kemampuannya untuk beradaptasi, berinovasi, dan berkonsolidasi. Jalur politik, seperti yang diambil oleh Partai Buruh, merupakan upaya untuk mengulang sejarah dengan harapan mendapatkan kembali daya tawar yang hilang setelah Orde Baru. Namun, konsolidasi internal dan strategi yang adaptif, yang mencakup isu-isu baru seperti upah layak, perlindungan buruh perempuan, dan regulasi ekonomi gig, akan menjadi kunci untuk memastikan gerakan ini tetap relevan dan efektif dalam memperjuangkan keadilan sosial dan ekonomi bagi seluruh pekerja di Indonesia.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

25 − = 21
Powered by MathCaptcha