Batas negara dalam tatanan internasional kontemporer harus dipahami bukan hanya sebagai garis demarkasi kaku yang memisahkan kedaulatan, tetapi juga sebagai mekanisme fungsional dan administratif. Meskipun globalisasi telah merangsang pergerakan bebas modal, barang, dan data, batas-batas ini telah mengambil peran baru sebagai alat administrasi untuk mengatur arus. Banyak negara, misalnya, sangat bergantung pada migran untuk memenuhi kebutuhan sektor ekonomi tertentu, seperti pertanian, manufaktur, dan jasa. Fenomena ini menciptakan keadaan di mana batas negara menjadi lebih fleksibel dalam hal mobilitas tenaga kerja, tetapi tetap mempertahankan fungsi utamanya sebagai penentu kedaulatan politik.

Paradoks kedaulatan muncul dari realitas bahwa meskipun batas secara ekonomi bersifat permeabel (terutama bagi kepentingan modal dan tenaga kerja), batas secara politik tetap bersifat rigid. Globalisasi memunculkan dilema: negara harus mempertahankan integritas teritorial dan kedaulatan untuk keamanan nasional, namun pada saat yang sama harus membuka perbatasan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi global. Ketegangan permanen antara kebutuhan ekonomi dan ambisi geopolitik inilah yang menjadikan batas negara terus menjadi sumber utama ketegangan dan konflik berskala besar, seperti yang terlihat dalam invasi atau klaim teritorial.

Klasifikasi Sengketa Perbatasan (Brownlie’s Taxonomy dan Hukum Internasional)

Sengketa perbatasan secara umum dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat klaim teritorialnya, serta sifat hukum penyelesaiannya.

Sengketa Teritorial vs. Sengketa Delimitasi

Klasifikasi sengketa perbatasan dapat dibedakan menjadi dua jenis utama yang didasarkan pada lingkup perselisihan:

  • Sengketa Teritorial (Territorial Boundary Dispute): Jenis sengketa ini timbul dari klaim atas kedaulatan penuh terhadap suatu wilayah. Klaim ini sering dipicu oleh kualitas intrinsik wilayah perbatasan yang menarik bagi negara yang menginisiasi sengketa, seperti akses ke sumber daya alam, nilai strategis, atau lokasi geografis.
  • Sengketa Delimitasi (Precise Location Dispute): Perselisihan ini lebih bersifat teknis dan berfokus pada interpretasi istilah atau dokumen yang digunakan untuk mendefinisikan batas. Sengketa delimitasi seringkali melibatkan isu-isu hidrografis atau penanda batas yang ambigu, terutama pada perbatasan maritim.

Sengketa Berdasarkan Sifat Hukum

Berdasarkan hukum internasional, sengketa juga dikategorikan berdasarkan yurisdiksi:

  • Sengketa Justiciable (Hukum): Sengketa yang berkaitan dengan dugaan pelanggaran kewajiban hukum atau perselisihan mengenai atribusi hak atas wilayah atau sumber daya tertentu. Sengketa jenis ini memiliki ambang batas justiciability yang tinggi dan dapat dibawa ke Mahkamah Internasional (ICJ) atau Mahkamah Arbitrase.
  • Sengketa Politik (Nonjusticiable): Tuntutan yang didasarkan pada kepentingan politik, pertimbangan non-yuridis, atau tujuan strategis. Penyelesaian sengketa politik dilakukan melalui cara-cara politik, dan keputusannya seringkali berupa usul-usul yang tidak mengikat secara hukum bagi negara yang bersengketa.

Klasifikasi Berdasarkan Medium

Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, menghadapi kompleksitas perbatasan yang mencakup darat dan laut. Meskipun perbatasan darat lebih mudah ditandai, perbatasan maritim sering menimbulkan persoalan serius terkait dengan isu-isu transnasional seperti illegal fishing, penyelundupan barang, dan pelintas tanpa dokumen atau imigran gelap. Pengelolaan kawasan perbatasan maritim, termasuk pulau-pulau kecil terluar, memerlukan penguatan yurisdiksi wilayah dan peran Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP).

Akar Penyebab Dan Driver Konflik Perbatasan

Warisan Kolonial dan Etnonasionalisme

Banyak konflik perbatasan di Asia dan Afrika berakar pada penerapan prinsip uti possidetis juris, di mana batas administratif kolonial dipertahankan sebagai batas internasional setelah kemerdekaan. Prinsip ini sering mengabaikan realitas etnis, budaya, dan geografis, yang kemudian menjadi sumber konflik internal dan eksternal.

Kasus Somalia: Pembagian Artifisial

Pada abad ke-19 dan pertengahan abad ke-20, negara-negara kolonialis membagi wilayah Somalia menjadi lima bagian. Pembagian artifisial ini menciptakan kerangka negara yang tidak sesuai dengan realitas identitas lokal. Akibatnya, pasca-konflik dan keruntuhan pemerintahan Siad Barre, Somalia menghadapi kekacauan yang meluas. Instabilitas yang dihasilkan dari warisan kolonial ini tidak hanya memicu pemberontakan tetapi juga memungkinkan munculnya aktor non-negara, seperti perompak Somalia, yang beroperasi di lepas pantai internasional antara tahun 2008 hingga 2015. Peran Uni Eropa, melalui misi EUNAVFOR, menjadi penting dalam memerangi pembajakan ini, menunjukkan bahwa warisan batas yang tidak stabil dapat menimbulkan ancaman keamanan maritim global.

Kashmir: Dilema Aksesi Pasca-Kolonial

Konflik antara India dan Pakistan di wilayah Kashmir adalah contoh klasik sengketa teritorial yang dipicu oleh identitas dan prinsip kedaulatan pasca-kolonial. Pada awalnya, Kashmir sebagai wilayah Indian Princely States diberi hak oleh Inggris untuk memilih bergabung dengan India atau Pakistan. Namun, pada saat itu, Hari Singh, penguasa Kashmir, memilih untuk tidak bergabung dengan keduanya dan ingin menciptakan negara baru. Keputusan ini kemudian memicu sengketa berkepanjangan yang diperparah oleh prinsip kedaulatan dan klaim etnis dari kedua negara bertetangga. Instabilitas yang diwariskan ini menciptakan konflik “berkepanjangan” karena akar masalahnya terletak pada inkonsistensi historis antara garis batas politik dan demografi etnis.

Driver Sumber Daya Alam: Air, Energi, dan Keamanan Maritim

Persaingan untuk mengklaim wilayah tertentu di seluruh dunia sering kali didorong oleh kepentingan ekonomi dan akses ke sumber daya alam. Sumber daya ini bisa berupa cadangan minyak/gas (seperti di Laut Cina Selatan) atau sumber daya air transnasional.

Fokus Mendalam: Konflik Air Transnasional (Grand Ethiopian Renaissance Dam – GERD)

Sengketa terkait Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD) di Sungai Nil Biru menyoroti pergeseran dari sengketa batas darat statis menjadi sengketa kedaulatan atas aliran sumber daya transnasional. Bendungan GERD, yang terletak sekitar 20 kilometer dari perbatasan Ethiopia-Sudan , adalah proyek pembangkit listrik tenaga air dengan biaya sekitar USD 5 miliar, yang bertujuan untuk secara signifikan meningkatkan mata pencaharian dan mengatasi kemiskinan di Ethiopia.

Negara hulu, Ethiopia, berargumen bahwa mereka memiliki hak untuk memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan, mengingat dataran tinggi Ethiopia menyuplai lebih dari 85% air yang mengalir ke Sungai Nil. Namun, negara hilir, Mesir dan Sudan, melihat pengisian dan operasi GERD sebagai ancaman besar terhadap keamanan air nasional. Mesir sangat bergantung pada air Nil untuk semua keperluan rumah tangga dan komersial. Tensi meningkat drastis setelah Ethiopia mengumumkan dimulainya pengisian waduk tanpa adanya perjanjian yang mengikat secara hukum mengenai alokasi air yang adil.

Meskipun Deklarasi Prinsip ditandatangani oleh ketiga negara pada tahun 2015, perselisihan terus berlanjut mengenai aspek penting seperti pengoperasian GERD selama periode kekeringan dan mekanisme penyelesaian sengketa. Perselisihan ini dibawa ke Dewan Keamanan PBB, yang mengeluarkan pernyataan presidensial pada tahun 2021 yang menyerukan dilanjutkannya negosiasi di bawah Uni Afrika (AU) untuk mencapai “perjanjian yang mengikat tentang pengisian dan pengoperasian GERD”. Tekanan eksternal juga muncul, di mana Amerika Serikat bahkan mengancam akan menahan bantuan pembangunan kepada Ethiopia jika konflik ini tidak terselesaikan. Kasus GERD menunjukkan bahwa negara hilir mendefinisikan tindakan hulu sebagai pelanggaran keamanan perbatasan meskipun ancamannya tidak berbentuk fisik melainkan terkait akses sumber daya vital.

Analisis Kasus Regional I: Dinamika Asia Dan Hukum Maritim

Sengketa Kashmir (India–Pakistan): Dilema Keamanan Asia Selatan

Sengketa Kashmir merupakan salah satu titik api geopolitik paling sensitif di dunia. Akar historisnya bermula ketika Hari Singh, pemimpin Kashmir, memilih untuk tidak berpihak kepada India atau Pakistan setelah Inggris memberikan hak aksesi kepada Indian Princely States. Ketegangan ini terus memanas, dan Pakistan secara tegas menyatakan bahwa tindakan pertahanannya menunjukkan hak dan kemampuan negara tersebut dalam mempertahankan diri. Meskipun Pakistan tidak menginginkan peningkatan intensitas permusuhan, negara tersebut siap sepenuhnya untuk melakukan tindakan ofensif jika keadaan mendesak untuk mempertahankan kedaulatan.

Konflik Kashmir adalah dilema keamanan klasik di Asia Selatan. Dinamika ini diperparah oleh fakta bahwa kedua pihak yang bersengketa adalah kekuatan nuklir, yang secara fundamental meningkatkan risiko eskalasi. Kebijakan luar negeri Pakistan yang mengandung nilai-nilai ofensif apabila terdapat keadaan mendesak menunjukkan bahwa resolusi sengketa ini harus dipertimbangkan dalam konteks stabilitas keamanan regional yang jauh lebih luas.

Konflik Laut Cina Selatan (LCS): Uji Kedaulatan Maritim Global

Laut Cina Selatan adalah arena persaingan geopolitik di mana klaim teritorial dan sumber daya tumpang tindih secara kompleks, melibatkan Tiongkok, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan negara-negara lain, termasuk Indonesia (khususnya wilayah Natuna Utara).

Klaim Sepihak dan UNCLOS

Tiongkok secara sepihak mengklaim sebagian besar LCS melalui apa yang dikenal sebagai Nine-Dash Line. Klaim ini tidak memiliki dasar hukum yang kuat di bawah Hukum Laut Internasional. Untuk menyelesaikan sengketa-sengketa maritim yang telah berlangsung lama dan rumit, komunitas internasional mengadopsi United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, yang merupakan hasil dari Konferensi PBB tentang Hukum Laut yang berlangsung dari Desember 1973 hingga Desember 1982.

Putusan Mahkamah Arbitrase Permanen (PCA)

Pada tahun 2016, Mahkamah Arbitrase Permanen (PCA) mengeluarkan putusan penting terkait sengketa di LCS, yang menyatakan bahwa Tiongkok tidak berhak mengklaim zona laut di luar kewenangan yang diatur oleh UNCLOS 1982. Putusan ini secara hukum menguatkan posisi Filipina dan prinsip-prinsip hukum maritim internasional. Putusan arbitrase ini menunjukkan superioritas kerangka hukum internasional dalam mendefinisikan dan membatasi klaim kedaulatan maritim.

Realpolitik dan Implementasi Hukum

Meskipun putusan PCA bersifat mengikat, penerapannya terhambat oleh dinamika realpolitik. Setelah putusan PCA dikeluarkan, Tiongkok dan Filipina memulai kembali negosiasi tentang pengembangan bersama minyak dan gas di wilayah yang disengketakan.

Upaya negosiasi bersama pasca-putusan ini dikritik oleh ahli hukum Filipina sebagai bentuk “pengabaian” atau “kompromi” terhadap putusan pengadilan arbitrase. Analisis ini menunjukkan adanya ketegangan mendasar: hukum internasional dapat memberikan legitimasi atas klaim kedaulatan (seperti putusan PCA), namun penegakannya sangat bergantung pada kehendak politik dan dinamika kekuatan antar negara. Berdasarkan putusan tersebut, Filipina secara hukum tidak wajib bernegosiasi untuk pengaturan sementara pengembangan bersama dengan Tiongkok , namun tekanan geopolitik sering kali mendorong negara untuk mempertimbangkan solusi yang mengkompromikan kemenangan hukum mereka.

Analisis Kasus Regional Ii: Konflik Pasca-Soviet Di Eropa Dan Kaukasus

Perang Rusia–Ukraina: Pelanggaran Integritas Teritorial

Konflik Rusia–Ukraina adalah contoh paling signifikan dari perubahan batas negara secara paksa di Eropa sejak Perang Dunia II, menunjukkan bahwa batas fisik tetap menjadi elemen sentral dalam geopolitik kontemporer. Perang ini bermula setelah protes Euromaidan dan revolusi pada Februari 2014, yang mengakibatkan tersingkirnya Presiden pro-Rusia Viktor Yanukovich. Hal ini segera memicu aneksasi Krimea oleh Rusia dan kerusuhan pro-Rusia di wilayah Donbas. Eskalasi besar, dalam bentuk invasi skala penuh, dimulai pada 24 Februari 2022.

Konflik ini membuktikan bahwa ambisi teritorial Kekuatan Besar dapat mengesampingkan norma-norma internasional mengenai integritas teritorial. Meskipun dunia semakin terhubung melalui globalisasi, perubahan batas negara secara paksa masih dapat menyebabkan ketegangan yang parah. Invasi ini merupakan pelanggaran mendasar terhadap prinsip kedaulatan yang diabadikan dalam Piagam PBB.

Nagorno-Karabakh: Dinamika Etnis dan Intervensi Regional

Konflik antara Armenia dan Azerbaijan terkait wilayah Nagorno-Karabakh meningkat drastis pada tahun 2020. Ini adalah sengketa teritorial yang dipicu oleh sentimen etnis yang telah berlangsung lama. Setelah perjanjian gencatan senjata yang ditengahi oleh Rusia pada Mei 1994, beberapa bentrokan masih terjadi, termasuk pertempuran kecil Mardakert pada tahun 2008.

Eskalasi pada tahun 2020 memberikan Rusia kesempatan untuk memperkuat pengaruh strategis dan geopolitiknya di kawasan Kaukasus Selatan melalui mediasi. Kepentingan Rusia dalam menengahi konflik ini menyoroti peran negara tersebut sebagai aktor regional yang berusaha mempertahankan pengaruhnya di kawasan pasca-Soviet. Konflik ini juga menyebabkan dampak kemanusiaan yang parah, dengan sebanyak 230.000 orang Armenia dari Azerbaijan dan 800.000 orang Azeri dari Armenia dan Karabakh mengungsi.

Table 1: Klasifikasi Studi Kasus Konflik Perbatasan Utama

Konflik Jenis Perbatasan Driver Utama Status Resolusi/Implikasi Aktor Eksternal Kunci
Kashmir Darat Warisan Kolonial, Etnis, Keamanan Berkelanjutan (Dilema Keamanan Nuklir) PBB, Tiongkok, AS
Laut Cina Selatan Maritim Sumber Daya Energi, Klaim Sejarah Berkelanjutan (Putusan PCA Diabaikan) UNCLOS, PCA, AS, ASEAN
Rusia–Ukraina Darat Geopolitik, Etnonasionalisme, Kedaulatan Berkelanjutan (Invasi Skala Penuh, Perubahan Batas Paksa) NATO, Uni Eropa
GERD (Nil) Sumber Daya Air (Non-Teritorial) Pembangunan vs. Keamanan Air Negosiasi Berjalan (Tensi Tinggi) AU, PBB, AS
Nagorno-Karabakh Darat Etnis/Teritorial Berkelanjutan/Rekonsiliasi Tegang (Pasca 2020) Rusia (Mediator Strategis)

Implikasi Konflik Perbatasan: Dimensi Keamanan Dan Kemanusiaan

Krisis Kemanusiaan Global dan Perpindahan Paksa

Konflik perbatasan sering menjadi pemicu utama krisis kemanusiaan dan perpindahan paksa. Invasi Rusia ke Ukraina, misalnya, telah menyebabkan sepertiga penduduk Ukraina mengungsi dan lebih dari 8 juta lainnya meninggalkan negaranya, menjadikannya krisis pengungsi terbesar di Eropa sejak Perang Dunia II. Skala krisis pengungsi juga terlihat dari data UNHCR, di mana negara-negara seperti Republik Arab Suriah, Ukraina, dan Afghanistan secara konsisten menghasilkan jumlah pengungsi terbesar secara global.

Dampak Psikososial Jangka Panjang

Dampak konflik perbatasan jauh melampaui kerugian material dan ekonomi langsung. Perang meninggalkan luka sosial dan psikologis yang mendalam. Banyak pengungsi dan korban konflik mengalami trauma psikologis yang membutuhkan waktu lama dan layanan kesehatan mental yang memadai untuk pemulihan.

Konsekuensi struktural jangka panjang dari konflik perbatasan adalah hilangnya potensi generasi. Generasi muda yang tumbuh di zona konflik atau kamp pengungsi sering kehilangan akses ke pendidikan. Kehilangan kesempatan pendidikan ini berdampak signifikan pada masa depan mereka dan pada potensi mereka untuk berkontribusi secara produktif pada masyarakat. Dengan kata lain, krisis pengungsi yang dihasilkan oleh konflik perbatasan adalah kegagalan tata kelola global yang menciptakan generasi yang rentan dan dapat memicu ketidakstabilan domestik di negara penerima di masa depan.

Transformasi Sifat Konflik di Zona Perbatasan

Sifat konflik modern di zona perbatasan telah bertransformasi, tidak lagi terbatas pada pertempuran militer konvensional:

  • Perang Asimetris (Fourth Generation Warfare): Konflik melibatkan aktor non-negara di samping negara, seperti yang terlihat di Suriah dan Afghanistan, yang mencerminkan dinamika keamanan yang kompleks di zona batas tradisional.
  • Perang Siber: Bentuk konflik baru yang melibatkan serangan siber untuk merusak infrastruktur vital suatu negara tanpa harus terlibat dalam pertempuran fisik. Ini menantang konsep keamanan batas tradisional yang hanya berfokus pada pertahanan fisik.
  • Perang Ideologi: Penggunaan propaganda untuk membentuk opini publik dan memecah belah masyarakat dari dalam. Secara tidak langsung, ini melemahkan kohesi nasional dan kedaulatan, terutama di kawasan perbatasan yang sensitif.

Mekanisme Penyelesaian Dan Tantangan Hukum Internasional

Kewajiban Resolusi Damai (Piagam PBB)

Hukum internasional menetapkan kerangka kerja yang jelas untuk penyelesaian sengketa, dengan kewajiban utama untuk mencari resolusi damai. Pasal 33 Piagam PBB menentukan bahwa para pihak dalam suatu persengketaan wajib menyelesaikan sengketa melalui negosiasi, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian melalui hukum, atau jalan damai lain yang mereka pilih sendiri.

Apabila suatu persengketaan tidak dapat diselesaikan secara damai, Dewan Keamanan (DK PBB) dapat dihadapkan pada masalah tersebut. DK PBB bertanggung jawab utama dalam pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional dan secara rutin merekomendasikan agar pihak-pihak yang bersengketa mengambil langkah-langkah penyelesaian secara damai.

Peran Institusi Yudisial (ICJ dan PCA)

Mekanisme penyelesaian secara hukum memainkan peran penting dalam sengketa justiciable. Mahkamah Internasional (ICJ) dan Mahkamah Arbitrase Permanen (PCA) dapat mengadili sengketa-sengketa yang bersifat hukum, khususnya yang berkaitan dengan atribusi hak atas wilayah. Putusan PCA, seperti yang terjadi dalam kasus Laut Cina Selatan, membawa otoritas hukum yang signifikan. Namun, terdapat batasan: pengadilan internasional tidak dapat menyelesaikan sengketa politik yang tuntutannya tidak didasarkan pada pertimbangan yurisdiksi, melainkan pada kepentingan politik murni.

Diplomasi Kekuatan Besar dan Mediasi

Mediasi sering digunakan dalam konflik perbatasan. Kelompok Minsk OSCE, misalnya, telah lama menengahi pembicaraan damai antara Armenia dan Azerbaijan terkait Nagorno-Karabakh. Namun, kegagalan mediasi semacam itu untuk mencegah eskalasi (seperti pada tahun 2020) menyoroti keterbatasan intervensi eksternal tradisional.

Dalam beberapa tahun terakhir, muncul aktor mediasi non-tradisional. Tiongkok, misalnya, telah meningkatkan peran diplomatiknya di Timur Tengah, terbukti dalam mediasi pemulihan hubungan diplomatik antara Iran dan Arab Saudi. Pemulihan hubungan ini didorong oleh kepentingan Tiongkok dalam mempromosikan perdamaian regional dan konektivitas (seperti Inisiatif Sabuk dan Jalan/BRI). Peran diplomatik Tiongkok menunjukkan bagaimana stabilitas dapat menjadi prasyarat bagi investasi dan konektivitas ekonomi, yang pada gilirannya digunakan sebagai alat untuk meningkatkan pengaruh geopolitik, menantang dominasi mediator tradisional.

Hambatan dalam Implementasi Hukum Internasional: Legitimasi vs. Kedaulatan

Tantangan terbesar terhadap penyelesaian konflik perbatasan adalah ketegangan antara kedaulatan negara dan penegakan hukum internasional. Kekuatan besar, baik melalui agresi teritorial (Rusia di Ukraina ) maupun intervensi militer berbasis kemanusiaan (NATO di Kosovo ), sering bertindak di luar kerangka hukum internasional.

Intervensi NATO di Kosovo, misalnya, dilakukan tanpa mandat yang jelas dari DK PBB, dan para ahli hukum berpendapat bahwa tindakan tersebut melanggar beberapa pasal Piagam PBB, termasuk Pasal 2 (larangan penggunaan kekuatan) dan Pasal 33 (kewajiban mencari solusi diplomatik). Hal ini menunjukkan ketegangan antara prinsip kedaulatan negara (non-intervensi) dan prinsip stabilitas regional atau kemanusiaan. Baik aneksasi sepihak oleh Rusia maupun intervensi militer tanpa mandat PBB mengikis fondasi Hukum Internasional—prinsip non-agresi dan integritas teritorial—melemahkan efektivitas PBB sebagai penjamin stabilitas global.

Table 2: Perbandingan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perbatasan

Mekanisme Dasar Hukum (Piagam PBB) Sifat Keputusan Contoh Relevan Kelebihan Kunci Tantangan Kunci
Negosiasi/Mediasi Pasal 33 Tidak Mengikat Mediasi Tiongkok (Iran-Saudi) Fleksibilitas, Menghindari Intervensi Eksternal Rentan Dominasi Kekuatan, Tidak Menjamin Solusi
Arbitrase (PCA) Pasal 33 Mengikat Putusan LCS Cepat, Keputusan berdasarkan Hukum Internasional Sulit Ditegakkan Tanpa Kehendak Politik
Penyelesaian Hukum (ICJ) Pasal 33 Mengikat Sengketa Batas Darat/Maritim Otoritas Yudisial Tinggi, Membangun Preseden Hukum Proses Sangat Lama, Hanya untuk Sengketa Justiciable
Intervensi Militer/Paksaan Melanggar Pasal 2(4) & 42 Paksaan Rusia di Ukraina , NATO di Kosovo Mampu Memaksakan Perubahan Cepat (Secara Ilegal) Pelanggaran Berat Hukum Internasional, Biaya Kemanusiaan Tinggi

Kesimpulan

Analisis komprehensif konflik isu perbatasan global menunjukkan bahwa permasalahan ini bersifat multidimensi. Konflik kontemporer didorong oleh konvergensi tiga faktor utama: warisan historis/etnis yang belum terselesaikan (Kashmir, Somalia), persaingan sengit untuk sumber daya strategis baik maritim (LCS) maupun air (GERD), dan dinamika geopolitik Kekuatan Besar yang bersedia menggunakan kekuatan atau pengaruh untuk mengubah batas negara (Rusia-Ukraina).

Batas negara, meskipun menjadi lebih fleksibel dalam konteks ekonomi global, tetap menjadi benteng terakhir kedaulatan politik. Namun, otoritas hukum internasional, yang diwakili oleh UNCLOS dan putusan PCA, serta prinsip-prinsip Piagam PBB, secara signifikan terancam oleh realpolitik dan kebijakan unilateral Kekuatan Besar. Ketidakmampuan DK PBB atau institusi yudisial untuk menjamin penegakan putusan secara konsisten, terutama ketika menyangkut SDA strategis atau ambisi teritorial, merupakan ancaman terbesar terhadap tatanan internasional berbasis aturan.

Untuk mengelola dan menyelesaikan isu perbatasan yang semakin kompleks, disarankan beberapa langkah kebijakan:

  1. Penguatan Mekanisme Penegakan Hukum Internasional: Komunitas internasional harus mencari cara yang lebih efektif untuk memastikan implementasi putusan yudisial yang mengikat (seperti Putusan PCA LCS) dan perjanjian alokasi sumber daya penting (seperti GERD). Kegagalan dalam penegakan hanya akan mendorong lebih banyak negara untuk mengabaikan jalur hukum dan memilih aksi unilateral.
  2. Integrasi Keamanan Non-Fisik: Pengelolaan perbatasan tidak boleh lagi terbatas pada pertahanan fisik teritorial, tetapi harus diperluas untuk mencakup ancaman asimetris, perang siber, dan intervensi ideologis. Khusus untuk negara kepulauan seperti Indonesia, penguatan yurisdiksi maritim harus dilengkapi dengan pertahanan siber dan narasi ideologis untuk mempertahankan integritas teritorial dan kedaulatan dari ancaman yang tidak berbentuk fisik.
  3. Prioritas pada Pencegahan Kemanusiaan: Mengingat tingginya biaya trauma psikologis dan hilangnya pendidikan bagi generasi muda di zona konflik , komunitas internasional harus memprioritaskan penyelesaian sengketa sedini mungkin melalui mediasi dan negosiasi yang efektif, sesuai dengan mandat Pasal 33 Piagam PBB, sebagai langkah krusial untuk mencegah krisis pengungsi berskala besar.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

29 + = 37
Powered by MathCaptcha