Latar Belakang dan Urgensi Kajian Politik Identitas di Era Kontemporer
Politik Identitas merujuk pada mobilisasi politik yang didasarkan pada kesamaan identitas kelompok, seperti ras, agama, etnis, atau gender. Fenomena ini telah menjadi realitas yang semakin menonjol dan kompleks dalam panggung politik Indonesia, terutama sejak era pasca-Reformasi. Indonesia, sebuah negara kepulauan yang terluas di dunia, diberkati dengan pluralisme yang ekstrem—terdiri dari lebih dari 17.000 pulau dan dihuni oleh ratusan etnis, sub-kultur, dan bahasa lokal. Keberlanjutan persatuan di tengah keragaman yang masif ini diyakini oleh banyak akademisi sebagai mukjizat sejarah yang bernilai sangat tinggi.
Namun, keragaman ini menciptakan kerentanan yang inheren terhadap eksploitasi PI. Oleh karena itu, diperlukan analisis dialektis yang mendalam untuk memahami Politik Identitas secara menyeluruh. Di satu sisi, Politik Identitas dapat berfungsi sebagai mekanisme yang sah dan efektif bagi kelompok minoritas untuk menuntut hak, pengakuan, dan keadilan struktural (sebagai Senjata Ampuh). Di sisi lain, Politik Identitas sangat rentan disalahgunakan oleh elit politik untuk tujuan elektoral jangka pendek, menjadikannya katalisator konflik, polarisasi ekstrem, dan potensi disintegrasi sosial (sebagai Bumerang Berbahaya). Analisis ini bertujuan mengupas dualitas ini dan mengidentifikasi kondisi yang membedakan kedua fungsi tersebut.
Merumuskan Pertanyaan Kunci: Dilema Senjata Ampuh atau Bumerang Berbahaya
Laporan ini berupaya menjawab dua pertanyaan inti:
- Kapan mobilisasi identitas berhasil mendorong inklusi, melawan ketidakadilan, dan mencapai representasi yang adil (menjadi Senjata Ampuh)?
- Faktor-faktor apa yang mengubah mobilisasi identitas menjadi alat eksklusif, destruktif, dan populis yang mengancam persatuan nasional dan konsolidasi demokrasi (menjadi Bumerang Berbahaya)?
Struktur Argumentasi dan Peta Jalan Laporan
Laporan ini akan dimulai dengan menelusuri genealogi progresif Politik Identitas, membedah kerangka teoritis kunci (esensialisme vs. konstruktivisme), dan kemudian menyajikan studi kasus serta manifestasi Politik Identitas yang bersifat konstruktif dan destruktif. Analisis komparatif antara kasus global dan dinamika di Indonesia akan digunakan untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan berlapis yang berfokus pada penguatan multikulturalisme pro-eksistensi dan rejuvenasi nilai kebangsaan.
Basis Konseptual dan Genealogi Intelektual Politik Identitas
Identitas Sosial, Identitas Kolektif, dan Ruang Politik
Identitas adalah elemen fundamental dalam konsep diri seseorang, yang didasarkan pada pengetahuan dan ikatan emosional terhadap keanggotaan dalam suatu kelompok sosial bersama. Identitas ini membentuk mekanisme interaksi sosial-psikologis. Ketika identitas ini dimobilisasi ke dalam arena kekuasaan, ia membentuk Politik Identitas.
Dalam konteks politik praktis, Politik Identitas seringkali diartikan sebagai pembentukan garis pembatas yang tegas dan permanen untuk menentukan “siapa yang diterima dan siapa yang ditolak” dari partisipasi atau kekuasaan politik. Keberadaan garis pembeda yang dirumuskan secara kaku ini memastikan bahwa keanggotaan dalam kelompok identitas tertentu akan bersifat tetap, yang kemudian digunakan sebagai basis loyalitas politik.
Genealogi Istilah: Dari Perjuangan Minoritas ke Diskursus Global
Genealogi istilah “politik identitas” mengungkapkan pergeseran makna yang signifikan. Konsep ini pertama kali diartikulasikan secara eksplisit oleh kelompok feminis kulit hitam di Amerika Serikat yang dikenal sebagai Komune Sungai Combahee (CRC) pada tahun 1977.
Fokus utama CRC adalah perjuangan melawan sistem opresi yang saling terkait (interlocking systems of oppression), yang mereka sebut interseksionalitas, yang didasarkan pada ras, gender, dan kelas. Bagi CRC, PI adalah konsep revolusioner yang paling radikal, yang keluar langsung dari pengalaman opresi diri mereka sendiri sebagai perempuan kulit hitam. Tujuannya adalah pembebasan diri dari opresi, bukan mengakhiri opresi orang lain, karena kelompok mereka sendiri dianggap paling tidak layak mendapatkan pembebasan.
Namun, seiring waktu, makna Politik Identitas telah mengalami perubahan dramatis, terutama saat ia berinteraksi dengan politik di negara-negara pascakolonial. Di Barat (1970-an), Politik Identitas diarahkan oleh kelompok terpinggirkan (minoritas, feminis) untuk menuntut keadilan struktural. Sementara itu, di Indonesia, Politik Identitas lebih sering dimobilisasi oleh kelompok mayoritas (berbasis agama atau etnis dominan) sebagai alat instrumental untuk perebutan kekuasaan elektoral.
Implikasi dari pergeseran ini adalah terjadinya peyorasi makna (pergeseran makna menjadi negatif) dalam diskursus publik di Indonesia. Politik identitas kini cenderung diidentikkan dengan politisasi agama, kekerasan, dan intoleransi. Kegagalan untuk membedakan antara asal-usul Politik Identitas yang progresif dan konstruktif (perjuangan minoritas untuk keadilan) dengan manifestasi Politik Identitas yang instrumental dan manipulatif saat ini (digunakan oleh elit/mayoritas) adalah salah satu akar krisis terminologi dalam diskursus politik kontemporer.
Perdebatan Teoritis Kunci: Primordialisme vs. Konstruktivisme
Terdapat dua pandangan utama dalam memahami pembentukan dan dinamika Politik Identitas:
- Pendekatan Primordialisme (Esensialis): Penganut paham ini melihat identitas (ras, agama, etnis) sebagai atribut bawaan dan permanen, menjadikannya garis pembatas yang tetap dan tidak dapat diubah. Politik identitas dalam pandangan ini menekankan upaya pencapaian kepentingan kolektif berbasis identitas untuk membentuk definisi dan visi masa depan kelompok.
- Pendekatan Konstruktivisme/Instrumentalisme: Berbeda dengan primordialisme, pendekatan ini memandang identitas sebagai hasil dari proses yang kompleks dan simbolis. Batas-batas identitas ini tidak statis, melainkan dibangun dan dimanfaatkan (instrumental) oleh aktor politik demi mencapai tujuan tertentu, seringkali dalam konteks situasi dan kondisi politik tertentu.
Perdebatan ini beririsan dengan kritik Marxis yang melihat Politik Identitas dari lensa ekonomi. Analisis Marxis menunjukkan bahwa Politik Identitas dapat menjadi produk dari suprastruktur borjuis, yang secara efektif mengalihkan fokus masyarakat dari perjuangan kelas dan eksploitasi material di bawah sistem kapitalisme. Meskipun konsekuensi material dari identitas (diskriminasi berbasis gender, ras) diakui, Politik Identitas seringkali dipandang sebagai mekanisme yang memecah belah solidaritas universal pekerja.
Perbandingan antara kedua kerangka kerja teoritis ini sangat penting untuk memahami cara kerja PI dalam praktik.
Table 1: Perbandingan Kerangka Teoritis Politik Identitas
| Dimensi | Teori Esensialisme (Primordialisme) | Teori Konstruktivisme/Instrumentalisme |
| Definisi Identitas | Identitas (ras, agama, etnis) adalah bawaan, permanen, dan tidak dapat diubah (Garis Pembatas). | Identitas adalah hasil dari proses sosial, simbolis, dan politik yang kompleks, yang dibangun dan dimanfaatkan. |
| Penyebab Kemunculan Politik Identitas | Loyalitas kolektif bawaan yang selalu ada dan meledak ketika diberi kesempatan politik. | Dipicu oleh konteks politik, kondisi ekonomi (ketidakadilan/diskriminasi), atau mobilisasi yang dilakukan oleh elit (Instrumentalism). |
| Fokus Utama | Afiliasi keanggotaan kelompok yang bersifat tetap. | Batas-batas identitas dan bagaimana batas-batas tersebut dinegosiasikan atau dipertegas oleh aktor. |
| Relevansi Sumber | Menetapkan siap yang diterima dan ditolak secara permanen. | Pemanfaatan identitas untuk menarik dukungan massa dan mencapai tujuan politik. |
Politik Identitas sebagai “Senjata Ampuh”: Manifestasi Kekuatan Positif
Ketika dimobilisasi secara progresif, Politik Identitas bertindak sebagai mekanisme pemberdayaan yang vital, memungkinkan kelompok-kelompok yang terpinggirkan untuk mendapatkan pengakuan politik dan keadilan struktural.
Mekanisme Pemberdayaan Kelompok Marjinal: Menuntut Pengakuan (Politics of Recognition)
Politik Identitas menjadi alat fundamental bagi kelompok yang merasa terpinggirkan atau mengalami ketidakadilan. Ini adalah upaya untuk menyeimbangkan ketidaksetaraan sistemik, bukan hanya dalam hal distribusi sumber daya material, tetapi juga dalam hal pengakuan martabat dan hak-hak sipil.
Gerakan Feminisme global adalah contoh klasik dari Politik Identitas yang konstruktif, di mana identitas gender (perempuan) dijadikan landasan perjuangan politik. Sejak abad ke-19, gerakan ini telah berhasil menuntut hak-hak sipil, termasuk hak untuk memilih, hak atas pendidikan, hak reproduksi, dan kesetaraan gender, menggunakan identitas mereka sebagai landasan untuk menuntut perubahan sosial dan politik yang lebih adil.
Studi Kasus Perjuangan Struktural Global: Gerakan Dalit di India
Di India, gerakan Dalit (kasta terendah) adalah studi kasus yang kuat tentang bagaimana Politik Identitas digunakan untuk pemberdayaan struktural. Perempuan Dalit, khususnya, menghadapi diskriminasi tiga kali lipat: ketidaksetaraan gender, diskriminasi kasta, dan kerentanan ekonomi. Mereka yang berasal dari kasta atas sering kali menikmati impunitas total atas tindakan kekerasan, termasuk kejahatan seksual yang kejam, terhadap perempuan Dalit.
Dalam konteks ini, mobilisasi politik berdasarkan identitas kasta/keturunan berfungsi sebagai alat advokasi untuk menuntut keadilan, melawan stigma, dan mengakhiri impunitas. Dengan menggunakan Politik Identitas, kelompok Dalit berhasil memposisikan diri untuk mendapatkan hak-hak sipil dan pengakuan martabat di tengah struktur sosial yang didominasi oleh budaya patriarki dan hierarki kasta yang ketat.
Pencapaian Representasi Politik Minoritas
Politik Identitas progresif memfasilitasi peningkatan representasi politik bagi kelompok yang secara historis dikecualikan dari struktur kekuasaan. Di negara-negara demokrasi liberal, mobilisasi berbasis Politik Identitas berdampak pada peningkatan representasi ras, etnis, dan gender di parlemen.
Namun, harus dipahami bahwa fungsi Politik Identitas sangat tergantung pada siapa yang memobilisasi dan untuk tujuan apa. Politik Identitas progresif (seperti gerakan feminisme atau Dalit) berorientasi pada minoritas yang menuntut inklusi. Sebaliknya, di Indonesia dan beberapa konteks lainnya, Politik Identitas yang dominan seringkali adalah Politik Identitas berbasis agama atau etnis mayoritas yang bersifat konservatif. Politik Identitas jenis ini justru dapat menjadi penghambat bagi representasi minoritas internal. Contohnya terlihat dalam politik lokal, seperti di Kabupaten Gorontalo, di mana adat dan interpretasi agama dijadikan alasan untuk membatasi peran perempuan dalam politik, sehingga masyarakat cenderung memilih laki-laki sebagai pemimpin. Perbedaan krusial ini menunjukkan bahwa jika Politik Identitas progresif adalah ‘Senjata Ampuh’, Politik Identitas konservatif/mayoritarian seringkali bertindak sebagai ‘Bumerang’ yang melanggengkan diskriminasi di dalam masyarakat majemuk itu sendiri.
Politik Identitas sebagai “Bumerang Berbahaya”: Risiko Destabilisasi Demokrasi
Ketika Politik Identitas keluar dari jalur perjuangan hak sipil dan bermutasi menjadi instrumen elit untuk perebutan kekuasaan, ia berubah menjadi Bumerang Berbahaya yang mengancam kohesi sosial dan demokrasi.
Ancaman Polarisasi Ekstrem dan Fragmentasi Sosial
Penggunaan Politik Identitas yang eksklusif, yang berfungsi sebagai garis pemisah yang kaku, melahirkan pembelahan masyarakat yang serius. Praktik Politik Identitas yang tidak dikelola dengan baik dapat mengikis rasa solidaritas kebangsaan, menggantinya dengan loyalitas yang sempit terhadap kelompok tertentu. Dampak destruktif ini mencakup terganggunya integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maraknya berita bohong (hoaks), dan secara fundamental mengganggu pluralitas bangsa.
Pada tingkat ekstrem, Politik Identitas meningkatkan potensi konflik horizontal (antar-agama, antar-suku, atau antargolongan) yang dapat meningkat cepat menjadi konflik fisik. Polarisasi politik semacam ini, jika tidak ditahan, dapat berujung pada anarkisme massa dan ancaman terhadap keamanan nasional.
Eksploitasi oleh Elit dan Populisme Identitas
Politik identitas rentan dimanipulasi oleh elit politik untuk meraih kekuasaan atau mendulang dukungan elektoral jangka pendek, seringkali dengan mengabaikan kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Fenomena ini sering bersinggungan dengan populisme.
Di Indonesia, populisme yang terjadi dalam Pilpres 2019 dinilai sangat kuat dipengaruhi oleh Politik Identitas berbasis agama, yang secara sengaja menciptakan citra dikotomi antara “pihak yang menjalankan nilai-nilai agama” dengan yang tidak. Disparitas yang sengaja dibuat ini bertujuan untuk memecah belah dan memanfaatkan sentimen keagamaan untuk kepentingan elektoral. Narasi Politik Identitas yang negatif ini dengan cepat menyebar melalui media sosial, mengarah pada apa yang disebut politics of resentment (politik kebencian), di mana ada keinginan untuk menghilangkan kelompok selain diri sendiri.
Konsekuensi Hukum dan Keamanan Nasional
Dampak langsung dari Politik Identitas yang destruktif adalah memicu kecurigaan, diskriminasi, dan intoleransi terhadap kelompok yang berbeda. Dalam sejarah Indonesia, Politik Identitas yang mengarah pada perpecahan juga terekam dalam gerakan separatis seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Organisasi Papua Merdeka (OPM), dan Republik Maluku Selatan (RMS). Meskipun gerakan-gerakan ini juga berakar pada masalah ketidakadilan distribusi sumber daya, identitas (etnis atau agama) menjadi pembeda utama yang dimobilisasi.
Pendekatan ekonomi kritis (seperti yang ditawarkan Marxisme) menyoroti bahwa ketika para elit menggunakan Politik Identitas dan populisme untuk mengalihkan perhatian dari kegagalan mereka dalam redistribusi ekonomi (ketidakadilan struktural yang mendasar), Politik Identitas menjadi Bumerang Berbahaya Ganda. Pertama, ia menyebabkan perpecahan sosial dan politik. Kedua, Politik Identitas menjadi mekanisme lock-in yang menjebak perdebatan politik pada isu-isu non-esensial (simbolik), menguras energi bangsa, dan memastikan masalah-masalah substansial seperti ekonomi dan reformasi struktural terabaikan.
Table 2: Dialektika Politik Identitas: Senjata Ampuh vs. Bumerang Berbahaya
| Aspek/Karakteristik | Politik Identitas sebagai “Senjata Ampuh” (Fungsi Konstruktif) | Politik Identitas sebagai “Bumerang Berbahaya” (Fungsi Destruktif) |
| Tujuan Utama | Perjuangan untuk pengakuan (recognition), keadilan, dan pemberdayaan struktural (misal: Feminisme, Dalit). | Membangun superioritas kelompok (Mayoritas vs. Minoritas) dan menyingkirkan lawan politik; Populisme. |
| Dampak Sosial | Meningkatkan representasi, membangun kesadaran kolektif yang sehat, dan mengintegrasikan kelompok yang terpinggirkan. | Fragmentasi sosial, polarisasi ekstrem, lahirnya pembelahan masyarakat, dan erosi nasionalisme. |
| Risiko Keamanan | Rendah, fokus pada perubahan kebijakan dan hak sipil. | Tinggi, memicu konflik horizontal, intoleransi, dan gerakan separatis berbasis identitas (misal: GAM, OPM). |
| Pemanfaatan Elit | Mobilisasi dukungan berdasarkan platform hak dan keadilan. | Eksploitasi isu agama/ras untuk meraih kekuasaan politik sempit (political gimmick). |
Studi Kasus Komparatif dan Dinamika di Indonesia
Tragedi Politik Identitas Destruktif Global
Sejarah modern memberikan contoh tragis tentang bagaimana Politik Identitas yang dieksploitasi dapat memicu kekerasan massal.
- Konflik Etnopolitik Rwanda: Genosida tahun 1994, di mana Politik Identitas berbasis etnis (Hutu melawan Tutsi) dieksploitasi sepenuhnya. Konflik ini menunjukkan potensi destruktif Politik Identitas yang tidak terkendali, berujung pada pembantaian massal dan kejahatan kemanusiaan.
- Perpecahan di Balkan (Yugoslavia): Serangkaian konflik bersenjata antara tahun 1991 hingga 2001 yang menyebabkan pecahnya Republik Federal Sosialis Yugoslavia. Identitas etnis dan agama menjadi garis pembeda utama yang dimobilisasi, yang pada akhirnya menghasilkan kejahatan perang dan perpecahan nasional.
Kasus-kasus ini menggarisbawahi pentingnya mengelola identitas di negara multikultural.
Politik Identitas di Indonesia Pasca-Reformasi
Di Indonesia, Politik Identitas lebih erat kaitannya dengan isu ras, agama, ideologi, dan kepentingan lokal. Dinamika ini sangat terlihat dalam kontestasi elektoral.
- Studi Kasus Pilkada DKI Jakarta 2017: Kontestasi ini secara luas dianggap sebagai pertarungan politik yang mengeksploitasi isu agama dan etnis ganda, yang kemudian memicu polarisasi mendalam. Polarisasi ini tidak hanya terbatas pada retorika politik, tetapi juga memicu ketegangan sosial dan insiden kekerasan yang didasarkan pada sentimen identitas.
- Analisis Perilaku Memilih: Meskipun identifikasi partai (party ID) menunjukkan kebangkitan sebagai faktor utama dalam menentukan perilaku memilih di politik lokal , Politik Identitas berbasis agama, terutama dukungan dari ulama atau kelompok Islam, tetap menjadi kunci penggerak yang efektif dalam memobilisasi pemilih, khususnya pada Pilpres 2019.
- Infiltrasi Identitas di Masa Krisis: Perilaku pemilih pemula menunjukkan kompleksitas: mereka dipengaruhi oleh pendekatan sosiologis, psikologis (loyalitas), dan rasional (visi/misi). Namun, faktor penghambat seperti penyebaran hoaks dan politik uang berinteraksi dengan isu identitas, merusak penilaian rasional pemilih. Dalam situasi krisis atau ketidakpastian, ikatan identitas yang primordial (agama, etnis) menjadi saluran politik yang paling mudah dimobilisasi karena menawarkan rasa kenyamanan dan afiliasi yang kuat, terutama bagi pemilih yang labil atau apatis. Dalam konteks Indonesia, Politik Identitas sering berfungsi sebagai “payung” politik yang digunakan oleh aktor untuk membangun koalisi dan menarik dukungan massa secara masif.
Mengelola Politik Identitas: Rekomendasi untuk Stabilitas Nasional
Mengubah Politik Identitas dari bumerang menjadi senjata membutuhkan strategi manajemen konflik yang komprehensif, mencakup aspek hukum, sosial, dan kultural.
Strategi Penanganan Hukum dan Regulasi
Diperlukan penegakan hukum yang tegas dan tidak diskriminatif. Regulasi pemilu harus secara ketat memisahkan antara ekspresi budaya/hak sipil yang sah dengan eksploitasi elektoral yang bersifat diskriminatif dan memecah belah. Penegakan hukum yang konsisten terhadap penyebar hoaks dan praktik politik kebencian berbasis identitas yang bertujuan menjatuhkan lawan politik adalah hal esensial untuk memulihkan nalar publik dan proses demokrasi.
Penguatan Pilar Demokrasi Inklusif: Multikulturalisme Pro-Eksistensi
Pemerintah perlu meninggalkan pendekatan yang hanya pasif dalam mengelola keragaman dan secara aktif mengadopsi pendekatan multikulturalisme pro-eksistensi. Strategi ini adalah resolusi konflik yang transformatif, bertujuan mentransformasikan ketegangan yang dibawa oleh keragaman dan demokrasi menjadi tatanan sosial baru yang memberi ruang bagi interaksi yang produktif di antara identitas-identitas yang beragam. Selain itu, pemerintah wajib mengampanyekan secara gencar “politik harmoni” sebagai upaya sadar untuk merawat kebhinnekaan.
Rejunevasi Nilai Kebangsaan: Revitalisasi Bhinneka Tunggal Ika
Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” harus diremajakan. Diperlukan pembaharuan pada “nilai instrumen” (kebijakan) dan “nilai praksis” (penerapan sehari-hari) dari semboyan ini agar tetap relevan dengan tantangan lingkungan strategis kontemporer. Mengamalkan nilai-nilai ini dalam kehidupan nyata adalah indikator kunci keberhasilan bangsa dalam memelihara integrasi negara-bangsa.
Edukasi Politik dan Literasi Digital
Untuk memitigasi risiko manipulasi Politik Identitas, harus diupayakan peningkatan nalar publik yang cerdas. Masyarakat harus diajarkan untuk membedakan secara kritis mana isu identitas yang esensial (terkait hak-hak kelompok yang terpinggirkan) dan mana yang non-esensial (politisasi dangkal oleh elit). Selain itu, keterlibatan tokoh masyarakat dan ulama sangat penting untuk mengedukasi publik mengenai praktik politik dan demokrasi yang baik yang berlandaskan Pancasila.
Mencari Titik Keseimbangan: Mengakomodasi Identitas Tanpa Mengorbankan Kelas
Politik Identitas harus diintegrasikan dengan agenda politik redistribusi yang adil. Harus diakui bahwa Politik Identitas memiliki konsekuensi material (ekonomi). Strategi politik yang bertanggung jawab harus mampu menghubungkan tuntutan pengakuan identitas dengan agenda nyata untuk mengatasi ketidakadilan distribusi sumber daya. Politik Identitas hanya menjadi Senjata Ampuh ketika ia dimobilisasi oleh kelompok marginal untuk mengatasi ketidakadilan struktural (misalnya, menuntut hak sipil dan melawan diskriminasi). Politik Identitas harus dibedakan dari Politik Identitas mayoritarian yang bersifat eksklusif dan destruktif. Kebijakan harus secara aktif mendukung Politik Identitas jenis pertama (inklusif dan progresif) dan secara tegas menindak Politik Identitas jenis kedua (eksklusif dan populis) dalam kerangka multikulturalisme dan hukum.
Kesimpulan
Politik Identitas adalah kekuatan politik yang memiliki moralitas netral—ia hanyalah sebuah alat. Ia terbukti menjadi Senjata Ampuh ketika dimobilisasi secara horizontal dan diarahkan ke luar, melawan sistem opresi, diskriminasi, dan ketidakadilan struktural (seperti yang dilakukan oleh gerakan feminis atau minoritas terpinggirkan) demi menuntut pengakuan dan kesetaraan.
Sebaliknya, Politik Identitas berubah menjadi Bumerang Berbahaya ketika ia dimobilisasi secara vertikal dan diarahkan ke dalam masyarakat. Hal ini terjadi ketika Politik Identitas menjadi basis eksklusivitas dan superioritas kelompok (terutama oleh kelompok mayoritas), yang kemudian dijadikan instrumen elit populis untuk memecah belah masyarakat demi kepentingan elektoral sempit. Bumerang ini tidak hanya mengancam stabilitas demokrasi dan memicu konflik horizontal, tetapi juga berfungsi sebagai mekanisme yang menguras energi bangsa, mengunci perhatian publik pada isu non-esensial, dan mengabaikan masalah substansial negara seperti pembangunan ekonomi dan keadilan distributif.
Politik Identitas adalah realitas yang tak terhindarkan dalam iklim demokrasi Indonesia yang majemuk. Keberlanjutan integrasi dan stabilitas nasional sangat bergantung pada kemampuan institusi politik dan masyarakat sipil untuk secara sadar mentransformasikan Politik Identitas yang bersifat primordial-instrumental menjadi narasi Politik Identitas yang konstruktif dan pro-eksistensi. Transformasi ini harus memastikan bahwa mobilisasi identitas digunakan untuk memperkuat kohesi sosial, menjamin hak-hak seluruh warga negara, dan pada saat yang sama, mengatasi ketidakadilan material yang menjadi akar segala bentuk kekecewaan. Kegagalan dalam manajemen ini akan membuat Indonesia terus terjerumus dalam ancaman polarisasi yang mengikis fondasi kebangsaan.
