Republik Upper Volta, yang memperoleh kemerdekaan pada tahun 1960, adalah sebuah negara kecil di Afrika Barat yang terkurung daratan dan sebagian besar miskin, warisan dari koloni Prancis. Pemerintahan sipil pertama dipimpin oleh Maurice Yaméogo, yang dengan cepat membentuk kediktatoran satu partai di bawah Voltaic Democratic Union, menghapuskan partai oposisi lainnya. Rezim Yaméogo dikenal karena hubungan eratnya dengan Prancis, memicu tuduhan neokolonialisme. Kegagalan tata kelola sipil awal ini menciptakan ruang bagi militer untuk mengklaim peran sebagai pengoreksi politik.

Definisi Siklus Instabilitas

Sejarah politik Burkina Faso (nama yang diadopsi pada tahun 1984) sejak awal ditandai dengan intervensi militer. Lonjakan kudeta yang mencolok antara tahun 2020 dan 2023 di wilayah Sahel, yang melibatkan Burkina Faso, Mali, dan Guinea, secara dramatis memutus tren penurunan frekuensi kudeta yang diamati sejak berakhirnya Perang Dingin. Kenaikan ini telah membuat wilayah tersebut dijuluki “Sabuk Kudeta” (Coup Belt). Keberhasilan kudeta perdana tahun 1966, yang terjadi setelah protes rakyat dan intervensi militer oleh Letnan Kolonel Sangoulé Lamizana , menetapkan preseden berbahaya: kekuasaan konstitusional dapat dengan mudah diabaikan oleh militer. Pola ini melemahkan norma-norma demokrasi dan menginstitusionalisasi militer sebagai entitas politik yang dominan, bertanggung jawab untuk ‘membersihkan’ kegagalan sipil, yang pada akhirnya meletakkan fondasi bagi ketidakstabilan kronis.

Rezim Militer Awal Dan Transisi Demokrasi Yang Rapuh (1966–1983)

Kudeta Perdana 1966: Penggulingan Yaméogo dan Kebangkitan Lamizana

Kudeta pada 3 Januari 1966, merupakan respons langsung terhadap ketidakpuasan populer yang meluas. Kudeta ini dipicu oleh unjuk rasa besar-besaran yang didukung oleh serikat pekerja, memprotes kebijakan ekonomi yang buruk dan sifat kediktatoran Yaméogo. Tekanan publik dan intervensi militer memaksa Yaméogo mengundurkan diri, dan ia digantikan oleh Letnan Kolonel Sangoulé Lamizana. Meskipun pemerintahan militer yang baru menjanjikan transisi selama empat tahun kembali ke pemerintahan sipil, Lamizana akhirnya memerintah selama hampir satu setengah dekade, hingga tahun 1980. Hal ini menggarisbawahi bagaimana intervensi militer, meskipun berawal dari tekanan sipil, dengan cepat dapat berubah menjadi kekuasaan militer yang mandiri dan berkelanjutan.

Intervensi Militer Berulang (1980 dan 1982): Kebangkitan Faksi Radikal

Lamizana sendiri digulingkan dalam kudeta militer tahun 1980 setelah periode panjang yang ditandai oleh gejolak buruh, kelaparan, dan masalah ekonomi yang akut. Kolonel Saye Zerbo mengambil alih, menangguhkan konstitusi tahun 1977, dan melarang semua partai politik. Kudeta tahun 1966 dan 1980 menunjukkan bahwa intervensi militer di Upper Volta seringkali bertindak sebagai penjamin tidak resmi untuk agitasi sipil dan kegagalan tata kelola, bukan semata-mata konflik internal elit, karena dipicu oleh masalah sosio-ekonomi mendasar.

Namun, rezim Zerbo segera tumbuh semakin diktator, memicu kebencian dari serikat pekerja dan faksi radikal di dalam militer. Pada 7 November 1982, Zerbo digulingkan oleh Kolonel Gabriel Somé Yorian dan perwira junior lainnya. Junta militer baru, Dewan Keselamatan Rakyat, menyertakan beberapa perwira kunci yang berhaluan radikal dan komunis, termasuk Thomas Sankara, Blaise Compaoré, Henri Zongo, dan Jean-Baptiste Boukary Lingani. Kehadiran faksi-faksi ideologis yang kuat dalam kepemimpinan militer ini mengindikasikan bahwa angkatan bersenjata bukanlah blok yang monolitik, melainkan arena kontestasi ideologi dan ambisi pribadi, sebuah kondisi yang kemudian akan memicu tragedi besar di tahun 1987.

Revolusi Dan Tragedi Thomas Sankara (1983–1987)

Visi Revolusioner dan Perubahan Nama Menjadi Burkina Faso

Setelah mengambil alih kekuasaan pada tahun 1983, Kapten Thomas Sankara memimpin sebuah rezim Marxis-revolusioner yang berupaya merombak struktur sosial dan ekonomi Upper Volta. Pada tahun 1984, dalam sebuah tindakan simbolis yang menunjukkan pemutusan hubungan dengan masa lalu kolonial, ia secara resmi mengganti nama negara menjadi Burkina Faso, yang berarti “Tanah Orang-Orang Jujur” atau “Tanah Integritas”. Pemerintahan Sankara berfokus pada swasembada, reformasi agraria, dan perjuangan melawan imperialisme.

Kudeta Balik 1987: Penggulingan dan Pembunuhan Sankara oleh Blaise Compaoré

Eksperimen revolusioner Sankara berakhir secara tragis pada tahun 1987, ketika ia digulingkan dan dibunuh dalam sebuah kudeta yang dipimpin oleh Blaise Compaoré, yang sebelumnya adalah tangan kanan dan sahabat dekatnya. Pengkhianatan ini menghapus legitimasi moral revolusi dan menandai kembalinya praktik kekuasaan yang lebih otoriter dan pragmatis ala Afrika Barat. Compaoré dengan cepat mengakhiri kebijakan revolusioner Sankara dan mulai mengkonsolidasikan kekuasaannya. Dia memperkenalkan reformasi demokratis terbatas pada tahun 1990 dan sebuah konstitusi baru pada tahun 1991. Di bawah kerangka kerja baru ini, Compaoré terpilih kembali tanpa oposisi pada tahun 1991, memulai kekuasaan yang stabil namun secara progresif otoriter selama 27 tahun. Pembunuhan Sankara menanamkan trauma politik yang mendalam dan menciptakan fondasi bagi otokrasi jangka panjang Compaoré.

Era Stabilitas Otoriter Di Bawah Blaise Compaoré (1987–2014)

Konsolidasi Kekuasaan dan Kontrol Politik

Selama hampir tiga dekade, Blaise Compaoré berhasil membangun rezim yang stabil secara politik. Rezimnya ditandai dengan kontrol politik yang ketat, ditunjukkan melalui kemenangan pemilu yang meyakinkan. Meskipun ia mengizinkan pemilihan multipartai sejak tahun 1992, partai Compaoré, Organisation for Popular Democracy-Labour Movement, berhasil memenangkan mayoritas kursi, menggunakan proses pemilu sebagai fasad demokrasi untuk melegitimasi kekuasaan otoriternya.

Puncak Pemberontakan Rakyat 2014: Tuntutan Reformasi Politik

Masa kekuasaan Compaoré berakhir pada tahun 2014. Katalis utama adalah upayanya untuk memanipulasi konstitusi demi memperpanjang masa jabatannya lebih lanjut, sebuah praktik yang umum dilakukan oleh otokrat di Afrika. Upaya ini memicu gelombang protes besar-besaran, kerusuhan, pembangkangan sipil, dan demonstrasi di seluruh negeri. Tujuan utama para demonstran adalah reformasi politik, khususnya tidak memperpanjang masa jabatan presiden. Pemberontakan sipil ini merupakan penolakan terhadap otokrasi lama dan kegagalan institusi sipil untuk mengoreksi penyalahgunaan kekuasaan. Rakyat Burkinabé telah mencapai batas toleransi terhadap manipulasi hukum tertinggi negara. Revolusi sipil ini berhasil memaksa Compaoré untuk mundur dan mengasingkan diri dari kekuasaan , membuka peluang penting untuk konsolidasi demokrasi yang sayangnya tidak dapat dipertahankan.

Krisis Keamanan Dan Kembalinya Kudeta (2016–2022)

Eskalasi Jihadisme: Operasi Ansarul Islam dan JNIM

Setelah tumbangnya rezim Compaoré, transisi demokrasi yang rapuh di Burkina Faso dengan cepat dibayangi oleh krisis keamanan yang meningkat. Insurgensi jihadis dimulai pada tahun 2016-2017 dan meningkat secara dramatis sejak 2019. Kelompok jihadis utama adalah Ansarul Islam, yang didirikan oleh Ibrahim Dicko (dan dipimpin oleh saudaranya Jafar Dicko sejak 2017). Kelompok ini erat berafiliasi dan berbagi sumber daya dengan Jama’at Nusrat al-Islam wal-Muslimin (JNIM), yang beraliansi dengan Al-Qaeda.

Krisis ini telah membawa dampak kemanusiaan yang sangat fatal. Antara tahun 2018 dan 2024, jihadis telah menewaskan lebih dari 25.000 orang. Kenaikan fatalitas sangat tajam: dari tahun 2022 hingga 2023, kematian yang disebabkan oleh terorisme meningkat sebesar 68%, menjadikan Burkina Faso negara yang paling terkena dampak terorisme di dunia menurut Indeks Terorisme Global 2024. Krisis ini mengubah narasi politik secara mendasar: kudeta pasca-2020 berakar pada kegagalan negara dalam fungsi paling mendasarnya, yaitu menjamin keamanan, sebuah ancaman eksistensial yang memberikan pembenaran kepada militer untuk mengintervensi rezim sipil yang dianggap tidak kompeten.

Dampak Kemanusiaan dan Kegagalan Tata Kelola

Kekerasan ekstremis telah menyebabkan sekitar 2 juta orang mengungsi di dalam negeri. Krisis kemanusiaan di kawasan perbatasan (melibatkan Mali, Guinea, dan Burkina Faso) diperparah oleh interaksi konflik internal yang berkepanjangan dengan dampak perubahan iklim ekstrem (seperti banjir dan kekeringan). Interaksi ini menciptakan apa yang disebut sebagai ‘lingkaran setan’ krisis kemanusiaan.

Dalam upaya kontra-insurgensi, pemerintah sipil mengerahkan milisi lokal yang dikenal sebagai Volunteers for the Defense of the Fatherland (VDP). Secara strategis, inisiatif ini gagal. VDP kurang sumber daya dan sering dikalahkan oleh jihadis. Lebih buruk lagi, VDP berkontribusi pada memburuknya situasi keamanan karena melakukan pelanggaran terhadap warga sipil, beberapa di antaranya ditargetkan secara etnis. Pelanggaran ini, pada gilirannya, menyediakan klaim perekrutan yang efektif bagi jihadis, yang dapat memposisikan diri mereka sebagai pelindung kelompok yang terpinggirkan. Situasi ini menghasilkan lingkaran umpan balik positif di mana upaya keamanan yang terdesentralisasi tanpa pengawasan ketat justru memicu peningkatan kekerasan yang berbasis etnis dan membantu kelompok jihadis.

Analisis Kudeta Ganda 2022: Kegagalan Melawan Jihadisme

Kudeta Januari 2022: Penggulingan Kabore oleh Letnan Kolonel Damiba

Mencerminkan kekecewaan publik dan militer terhadap kegagalan keamanan, pada Januari 2022, Letnan Kolonel Paul-Henri Sandaogo Damiba memimpin kudeta yang menggulingkan Presiden sipil Roch Marc Christian Kaboré. Alasan utama yang dikemukakan adalah ketidakmampuan Kaboré untuk mengatasi krisis jihadis yang semakin mendalam. Damiba secara resmi dinyatakan sebagai Presiden Burkina Faso oleh Dewan Konstitusi pada Februari 2022, memegang kekuasaan dengan janji mengakhiri ancaman teror.

Kudeta September 2022: Kapten Ibrahim Traoré Menggulingkan Damiba

Namun, Damiba hanya menjabat selama delapan bulan sebelum digulingkan dalam peristiwa “kudeta dalam kudeta” yang langka, yang dipimpin oleh Kapten Ibrahim Traoré pada 30 September 2022. Justifikasi yang diungkapkan Traoré dan pendukungnya adalah bahwa Damiba telah gagal menepati janjinya untuk “meredinamisasi perjuangan anti-jihadis”. Faksi militer yang dipimpin Traoré menuntut kecepatan, efektivitas, dan pengabaian “birokrasi administratif yang tidak perlu” dalam menghadapi ancaman keamanan. Logika di balik kudeta dalam kudeta ini adalah bahwa militer kini menilai kepemimpinan berdasarkan metrik tunggal: kemampuan untuk menghasilkan hasil keamanan yang segera. Kegagalan Damiba dianggap sebagai pengkhianatan terhadap mandat kudeta awal.

Setelah mengambil alih kekuasaan, Traoré diangkat sebagai presiden transisi dan Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata. Namun, piagam transisi yang baru disahkan menetapkan bahwa Traoré, dan anggota junta lainnya, tidak akan memenuhi syarat untuk mencalonkan diri dalam pemilihan umum yang akan diadakan pada akhir masa transisi. Meskipun ini adalah upaya untuk mencegah terulangnya otokrasi jangka panjang seperti Compaoré, dalam konteks krisis eksistensial, pembatasan tersebut merupakan janji yang rapuh, karena krisis keamanan dapat dengan mudah digunakan sebagai pembenaran untuk menunda atau membatalkan proses elektoral.

Tabel 1: Kronologi Kudeta Mayor di Burkina Faso (Upper Volta)

Tahun Pemimpin yang Digulingkan Aktor Penggulingan/Pemimpin Baru Alasan Utama yang Dinyatakan
1966 Maurice Yaméogo Letnan Kolonel Sangoulé Lamizana Korupsi, Kediktatoran Satu Partai, Tuntutan Serikat Pekerja
1980 Sangoulé Lamizana Kolonel Saye Zerbo Gejolak Buruh, Kelaparan, Masalah Ekonomi
1982 Saye Zerbo Kolonel Gabriel Somé Yorian/Perwira Radikal Kediktatoran yang Meningkat, Konflik dengan Serikat Pekerja
1987 Thomas Sankara Blaise Compaoré Konflik Internal Elit, Perbedaan Arah Revolusi
2014 (Revolusi Rakyat) Blaise Compaoré Demonstrasi Sipil/Militer Upaya Perubahan Konstitusi untuk Perpanjangan Masa Jabatan
Jan 2022 Roch Marc Christian Kaboré Letkol. Paul-Henri Sandaogo Damiba Kegagalan Menangani Krisis Jihadis
Sept 2022 Paul-Henri Sandaogo Damiba Kapten Ibrahim Traoré Kegagalan Mempercepat Perjuangan Anti-Jihadis

Implikasi Geopolitik Dan Pergeseran Aliansi

Reaksi Komunitas Internasional: Sanksi ECOWAS

Komunitas Ekonomi Negara-negara Afrika Barat (ECOWAS) bereaksi keras terhadap gelombang kudeta di wilayah tersebut, termasuk di Burkina Faso. ECOWAS menangguhkan keanggotaan Burkina Faso dan menerapkan sanksi ekonomi dan finansial. Mereka awalnya menyatakan “sangat prihatin” dengan usulan junta untuk periode transisi selama 36 bulan. Setelah negosiasi yang intens, ECOWAS menyetujui rencana transisi 24 bulan kembali ke pemerintahan sipil dan mencabut sanksi ekonomi dan finansial terhadap negara tersebut. Namun, sanksi individu terhadap para pemimpin kudeta masih dipertahankan. Tindakan ECOWAS ini mencerminkan upaya regional untuk menegakkan norma-norma demokrasi elektoral, meskipun menghadapi realitas keamanan yang sangat bergejolak.

Sentimen Anti-Prancis dan Kebangkitan Pengaruh Rusia

Kudeta Traoré mempercepat pergeseran geopolitik di Burkina Faso. Hari-hari setelah kudeta September 2022 ditandai dengan demonstrasi massa di Ouagadougou yang secara terbuka menunjukkan sentimen anti-Prancis dan pro-Rusia. Para demonstran secara eksplisit menuntut diakhirinya kehadiran militer Prancis di Sahel dan mengadvokasi kerja sama militer dengan Rusia. Kegagalan kontra-terorisme yang dipimpin Barat telah membuka ruang politik bagi retorika anti-kolonial dan pro-Rusia untuk berkembang. Pengaruh Moskow dilaporkan meningkat di beberapa negara Afrika berbahasa Prancis, termasuk keterlibatan Rusia dalam kudeta di Mali. Dengan demikian, jihadisme, yang merupakan masalah keamanan domestik, telah menjadi katalis untuk perubahan geopolitik besar, memungkinkan Kapten Traoré untuk menarik dukungan domestik dengan menantang hegemoni Barat secara terbuka.

Retorika Kedaulatan Traoré: Menghindari Ketergantungan

Kapten Traoré menggunakan retorika anti-imperialisme yang kuat. Dalam pidatonya, ia secara eksplisit mengkritik para kepala negara Afrika yang bertindak seperti “marionet” yang menari setiap kali imperialis menarik tali mereka. Ia menyerukan agar para pemimpin Afrika tidak datang ke forum internasional hanya untuk menerima “barang gratis,” seperti biji-bijian dari Presiden Rusia Vladimir Putin, tanpa terlebih dahulu memastikan swasembada pangan rakyat mereka sendiri. Pidato tersebut menekankan perlunya martabat, visi, dan pentingnya belajar dari negara-negara yang telah berhasil mencapai swasembada, menegaskan kembali tujuan Burkina Faso untuk mengklaim kembali tempatnya di panggung dunia. Retorika ini adalah strategi dua arah: memenuhi tuntutan keamanan domestik sambil mendefinisikan ulang kedaulatan negara dalam hubungan luar negeri.

Krisis Kemanusiaan dan Hubungan Lingkungan

Krisis yang dihadapi Burkina Faso bersifat multi-dimensi. Selain konflik dan ketidakstabilan politik, data PBB menunjukkan bahwa krisis kemanusiaan diperparah oleh interaksi antara konflik internal yang berkepanjangan dan dampak perubahan iklim ekstrem. Bencana alam seperti banjir dan kekeringan memperburuk kondisi kemanusiaan yang sudah rapuh, memaksa jutaan orang mengungsi. Krisis iklim mengurangi sumber daya (lahan dan air), yang meningkatkan persaingan dan konflik antara komunitas (misalnya, penggembala dan petani). Konflik berbasis sumber daya ini menyediakan celah yang dieksploitasi oleh kelompok jihadis, yang semakin memicu kekerasan etnis. Oleh karena itu, stabilitas jangka panjang memerlukan solusi yang mengintegrasikan pembangunan, adaptasi iklim, dan strategi keamanan.

Tabel 2: Indikator Krisis Keamanan dan Dampak Geopolitik Kontemporer (Pasca-2020)

Indikator Deskripsi dan Data Kunci Implikasi Analitis
Intensitas Jihadisme Peningkatan 68% Fatalitas Terorisme (2022–2023). Total korban >25.000 (2018–2024). Kegagalan keamanan menjadi pemicu utama kudeta, menuntut militer untuk menghasilkan hasil nyata segera.
Reaksi Regional (ECOWAS) Penangguhan keanggotaan dan sanksi. Menyepakati transisi 24 bulan setelah menolak 36 bulan. Upaya untuk memaksakan batas waktu konstitusional, namun sanksi dicabut melalui kompromi politik.
Sentimen Geopolitik Demonstrasi Anti-Prancis dan Pro-Rusia pasca-Traoré. Tuntutan penghentian kehadiran militer Prancis. Pergeseran aliansi yang dipercepat; kegagalan kontra-terorisme Barat membuka pintu bagi pengaruh Timur.
Krisis Kemanusiaan Diperkirakan 2 juta orang mengungsi. Konflik diperparah oleh perubahan iklim. Masalah Burkina Faso bersifat multi-dimensi (politik, keamanan, lingkungan), tidak dapat diselesaikan hanya dengan kekuatan militer.

Pola Yang Berulang Dan Prospek Masa Depan

Model Kudeta Berulang: Militer sebagai Arbiter Politik (Sejak 1966)

Sejak kudeta pertama pada tahun 1966, Burkina Faso telah menunjukkan pola yang konsisten di mana militer bertindak sebagai arbiter politik, mencerminkan kegagalan institusi sipil untuk secara efektif mengoreksi penyalahgunaan kekuasaan atau kegagalan tata kelola tanpa campur tangan angkatan bersenjata. Frekuensi kudeta yang sangat tinggi, termasuk “kudeta dalam kudeta” pada tahun 2022, menunjukkan bahwa kontrol sipil atas militer secara institusional tidak ada. Lonjakan kudeta dan upaya Compaoré untuk memanipulasi konstitusi telah mengikis norma konstitusional secara fundamental, menjadikan teks hukum tertinggi negara sebagai alat yang dapat dimanipulasi atau dicabut.

Tantangan Transisi Traoré

Pemerintahan transisi Kapten Traoré berada di bawah tekanan besar untuk menunjukkan kemajuan dalam menghadapi krisis keamanan. Piagam transisi menetapkan bahwa ia dan anggota junta lainnya tidak dapat mencalonkan diri dalam pemilihan umum berikutnya, sebuah batasan yang bertujuan untuk memastikan kembalinya kekuasaan sipil yang kredibel. Namun, tantangan keamanan sangat besar: dengan 2 juta orang mengungsi dan ancaman jihadis yang terus meningkat, tekanan untuk menstabilkan negara dapat digunakan sebagai alasan untuk menunda pemilu. Jika keamanan gagal membaik, legitimasi Traoré tetap rentan terhadap faksi militer yang lebih muda dan lebih radikal. Peringatan bahwa Burkina Faso “berada di ambang kudeta lagi” menunjukkan volatilitas yang berkelanjutan bahkan di bawah rezim militer saat ini.

Analisis Risiko Jangka Panjang

Risiko terbesar bagi Burkina Faso adalah kegagalan untuk memecahkan lingkaran setan: ketidakstabilan politik memicu kegagalan keamanan, yang memicu kudeta, yang mengarah pada ketidakpastian transisi, yang kembali pada ketidakstabilan politik. Selain itu, praktik penggunaan milisi lokal seperti VDP yang disalahgunakan untuk melakukan pelanggaran etnis menciptakan konflik berbasis etnis (seperti perselisihan antara penggembala dan petani). Konflik internal ini secara sinis dimanfaatkan oleh kelompok jihadis seperti JNIM dan Ansarul Islam.

Di sisi lain, Kapten Traoré memproyeksikan citra kepemimpinan yang berani melawan jihadis, dikombinasikan dengan retorika anti-imperialisme yang mendefinisikan ulang kedaulatan negara. Strategi ini, yang menolak ketergantungan Barat dan mencari kerja sama baru (termasuk Rusia), menunjukkan bahwa keberhasilan atau kegagalan Traoré akan sangat memengaruhi tren kudeta dan arah geopolitik Afrika Barat pada dekade mendatang.

Kesimpulan

Analisis kronologis kudeta di Burkina Faso mengungkapkan tiga temuan utama:

  1. Siklus Kronis Kekuasaan Militer: Sejak tahun 1966, angkatan bersenjata telah menjadi arbiter utama politik, di luar kendali institusi sipil, yang menghasilkan budaya kudeta yang mendalam.
  2. Pemicu Eksistensial: Kudeta terbaru (2022) didorong oleh ancaman eksistensial, yaitu kegagalan rezim sipil dan Damiba untuk menahan jihadisme, yang mengakibatkan peningkatan fatalitas sebesar 68% dalam satu tahun.
  3. Realignment Geopolitik: Ketidakstabilan saat ini secara eksplisit dikaitkan dengan sentimen anti-Prancis dan pivot menuju pengaruh Rusia, dipimpin oleh generasi pemimpin militer baru yang menuntut kedaulatan yang lebih besar.

Untuk memutus siklus ketidakstabilan, Burkina Faso memerlukan pendekatan multi-dimensi yang melampaui solusi militer:

  1. Pengawasan Militer dan Akuntabilitas: Sangat penting untuk menerapkan pengawasan yang ketat dan transparan terhadap milisi lokal (VDP) untuk menghentikan pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan berbasis etnis. Kegagalan dalam mengendalikan milisi ini hanya akan memberikan klaim rekrutmen kepada jihadis.
  2. Mengatasi Akar Struktural: Program stabilisasi harus dirancang untuk mengatasi interaksi yang memperburuk antara konflik, krisis kemanusiaan, dan kerentanan iklim. Mengabaikan masalah lingkungan akan memelihara sumber konflik di masa depan.
  3. Memperkuat Kredibilitas Transisi: Meskipun piagam transisi melarang Kapten Traoré mencalonkan diri , tekanan internal dan eksternal harus difokuskan untuk memastikan bahwa rencana 24 bulan yang disepakati dengan ECOWAS ditepati. Namun, reformasi sektor keamanan yang mendalam, yang memastikan militer tunduk pada otoritas sipil yang kredibel, harus mendahului pemilihan umum untuk mencegah kembalinya pola intervensi yang merusak.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

38 + = 41
Powered by MathCaptcha