Krisis Iklim sebagai Krisis Kesejahteraan
Definisi dan Skala Ancaman Kesejahteraan
Krisis iklim didefinisikan sebagai kondisi darurat yang diakibatkan oleh perubahan suhu yang dipicu oleh aktivitas manusia, yang berdampak luas dan mendalam pada lingkungan, sosial, ekonomi, dan budaya. Dampak-dampak ini terwujud dalam bentuk cuaca ekstrem, kenaikan permukaan laut, dan kelangkaan pangan. Lebih dari sekadar ancaman fisik, krisis iklim telah berevolusi menjadi krisis kesejahteraan yang secara fundamental menggerus hak-hak asasi dan struktur sosial komunitas, terutama bagi masyarakat yang paling rentan.
Krisis ini secara langsung menyebabkan kurangnya layanan pendidikan dan perlindungan sosial, serta memperburuk kemiskinan. Komunitas rentan menghadapi berbagai ancaman fisik secara simultan, termasuk siklon, banjir sungai, banjir rob, kelangkaan air, dan peningkatan penyakit, yang diperparah oleh polusi udara, tanah, dan air. Skala ancaman ini menuntut perhatian mendesak, khususnya bagi Negara-Negara Berkembang Pulau Kecil (Small Island Developing States – SIDS) dan wilayah kering/semi-kering, seperti kawasan Sahel di Afrika.
Kerangka Keadilan Iklim
Dalam merespons skala krisis ini, upaya dukungan internasional harus berlandaskan pada prinsip keadilan iklim. Keadilan iklim tidak hanya terbatas pada dimensi distributif (alokasi manfaat dan kerugian yang adil), tetapi juga mencakup dimensi rekognitif, restoratif, dan prosedural.
Aksi iklim harus mengarusutamakan keadilan gender melalui kajian dampak dan rencana aksi yang spesifik, serta memastikan bahwa transisi energi diimplementasikan secara berkeadilan. Prioritas harus diberikan pada pengalihan investasi dari proyek energi fosil (seperti pembangunan pembangkit listrik batu bara baru) menuju energi terbarukan yang terdesentralisasi dan demokratis. Selain itu, dukungan harus secara eksplisit diberikan kepada masyarakat adat dalam mengembangkan inisiatif energi terbarukan yang relevan dengan komoditas lokal mereka. Prinsip keadilan juga menuntut agar kerentanan, hambatan, dan kebutuhan penyandang disabilitas dipertimbangkan dalam setiap aspek kebijakan dan program aksi iklim.
Kerentanan Geografis dan Dampak Multi-Dimensi pada Komunitas Rentan
Komunitas di kepulauan kecil dan wilayah kering memiliki kerentanan yang unik dan saling berbeda, namun sama-sama menghadapi ancaman yang berpotensi melumpuhkan kesejahteraan sosio-ekonomi mereka.
SIDS: Ancaman Eksistensial dari Kenaikan Permukaan Laut
Negara-negara di kawasan Karibia, sebagai SIDS, sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, terutama kenaikan tingkat air laut global. Laporan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memproyeksikan bahwa tingkat air laut global dapat naik antara 0,29 meter hingga 1,10 meter pada tahun 2100.
Ancaman ini bersifat eksistensial, karena kenaikan air laut dapat mengakibatkan penenggelaman wilayah, yang pada akhirnya mengancam hilangnya teritori negara sebagai tempat kehidupan warganya. Ini secara fundamental mempertaruhkan kedaulatan dan keberlanjutan hidup masyarakat. Studi kasus di Maladewa, Fiji, dan Mauritius menunjukkan bahwa ancaman ini merusak integritas sumber daya kritis seperti pangan, air, energi, dan infrastruktur. Kombinasi dari kenaikan air laut dan cuaca ekstrem seperti siklon dan banjir rob secara kolektif merusak layanan dasar dan meningkatkan tingkat kemiskinan di SIDS.
Wilayah Kering dan Semi-Kering: Kekeringan, Degradasi Lahan, dan Ketahanan Pangan
Di wilayah kering, kekeringan merupakan salah satu bencana alam yang paling merusak. Dampak kekeringan bersifat masif, mencakup kegagalan panen berskala luas, kebakaran hutan, dan kekurangan air. Karena sebagian besar pangan global diproduksi di darat (lebih dari 95%), kekeringan secara langsung menyulitkan produksi pertanian, memperburuk kemiskinan dan kekurangan gizi.
Studi Kasus Afrika
Kawasan Sahel di Afrika telah menjadi saksi memburuknya iklim ekstrem, termasuk bencana kekeringan yang semakin sering. Namun, para ilmuwan mencatat bahwa jika pemanasan global melebihi 2 derajat Celsius, pola cuaca inti di Sahel dapat berubah secara drastis, berpotensi menghasilkan curah hujan deras yang lebih sering, yang bisa membuat kawasan ini lebih hijau. Meskipun ini menawarkan potensi untuk pertanian, tahap transisi diprediksi sangat kacau, dengan cuaca ekstrem diikuti oleh banjir yang merusak. Sementara itu, di Afrika Selatan (SADC), kekeringan parah menyebabkan hampir 68 juta orang, atau 17% dari populasi wilayah tersebut, membutuhkan bantuan.
Degradasi Lahan dan Dampak Lanjut
Di wilayah-wilayah ini, kekeringan mendorong degradasi lahan dan kegersangan. Intensitas dan frekuensi badai pasir dan debu juga meningkat, khususnya di daerah kering dan semi-kering, yang berdampak pada kesehatan, pertanian, dan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat. Secara kumulatif, kegersangan mengancam keanekaragaman hayati, sumber daya air dan tanah, dan mata pencaharian jutaan orang. Akibatnya, jumlah orang yang rawan pangan di negara-negara yang dilanda kekeringan telah meningkat sebesar 45,6% sejak tahun 2012.
Dampak Sosio-Ekonomi Tingkat Lanjut: Perpindahan dan Ketidakstabilan
Migrasi Iklim (Climate Mobility)
Dampak iklim yang merusak sumber daya dan memperburuk kesenjangan sosial telah menjadikan migrasi penduduk tidak hanya dipicu oleh konflik, tetapi juga oleh perubahan iklim. Fenomena climate mobility ini mengacu pada perpindahan orang, baik secara sukarela maupun terpaksa, sebagai strategi adaptasi terhadap kerusakan yang disebabkan oleh dampak iklim.
Kebutuhan Tata Kelola Migrasi Global
Peningkatan climate mobility ini menciptakan kebutuhan mendesak untuk langkah-langkah tata kelola migrasi yang berani di tingkat internasional, seperti yang telah dibahas di kawasan Asia-Pasifik yang melibatkan entitas PBB seperti UN ESCAP. Perpindahan ini menandakan bahwa kerentanan yang dialami masyarakat marginal telah melampaui kemampuan mereka untuk beradaptasi di tempat tinggal semula.
Kesenjangan Pendanaan dan Kegagalan Arsitektur Dukungan Internasional
Analisis data menunjukkan bahwa arsitektur keuangan global saat ini gagal dalam memenuhi kebutuhan adaptasi masyarakat rentan, memunculkan kesenjangan yang berpotensi fatal.
Analisis Kesenjangan Pendanaan Adaptasi (Adaptation Finance Gap)
Kesenjangan pendanaan adaptasi menunjukkan skala kegagalan global. Negara berkembang membutuhkan dana adaptasi tahunan lebih dari $310 miliar pada tahun 2035. Namun, aliran pendanaan saat ini hanya mencapai sekitar $26 miliar per tahun (2023). Dengan kata lain, kebutuhan adaptasi negara berkembang adalah 12 kali lipat lebih besar daripada aliran dana yang ada.
Kesenjangan ini paling akut terjadi pada kelompok yang paling rentan. Negara-negara Kurang Berkembang (LDC) dan SIDS secara kolektif membutuhkan estimasi $50 miliar setahun. Meskipun demikian, SIDS hanya menerima $1,2 miliar selama periode 2022-2023. Kenyataan ini menegaskan bahwa negara-negara maju berada di jalur yang salah untuk mencapai tujuan menggandakan pendanaan adaptasi 2019 pada tahun 2025, seperti yang disepakati pada COP26.
Mekanisme Keuangan Global: Tantangan Akses dan Implementasi
MDBs (Bank Pembangunan Multilateral) telah menyalurkan rekor $137 miliar dalam pembiayaan iklim global pada tahun 2024. Mayoritas dana ini ($85,1 miliar) mengalir ke negara berpendapatan rendah dan menengah. Namun, alokasi adaptasi hanya menyumbang 31% ($26,3 miliar) dari total tersebut, sementara mitigasi mendominasi dengan 69%. Meskipun AfDB (African Development Bank) melaporkan bahwa lebih dari setengah pendanaannya di Afrika difokuskan pada adaptasi, ketidakseimbangan global ini tetap menjadi masalah struktural.
Hambatan Akses GCF
Akses ke mekanisme pendanaan global seperti Green Climate Fund (GCF) dihadapkan pada tantangan birokrasi dan kebijakan yang kompleks. Proses akreditasi GCF yang panjang dan kebijakan perlindungan lingkungan dan sosial (Environmental and Social Safeguards – ESS) yang kaku dinilai menghambat implementasi, bahkan di negara yang sangat rentan seperti Bangladesh. Selain itu, pendekatan GCF yang sangat berhati-hati terhadap risiko dikhawatirkan menghambat investasi dalam proyek yang inovatif dan berpotensi berdampak besar, padahal inovasi sangat dibutuhkan di garis depan krisis iklim.
Tata Kelola Dana Kehilangan dan Kerusakan (Loss and Damage)
Pembentukan dan operasionalisasi Dana Kehilangan dan Kerusakan (L&D Fund) pada COP28 adalah kemajuan signifikan. Bank Dunia diundang untuk menampung dana ini sebagai Financial Intermediary Fund (FIF) untuk periode sementara empat tahun. Dana L&D dimaksudkan untuk mengatasi kerugian yang tidak dapat dihindari, terutama di SIDS. Namun, penempatan dana ini dalam kerangka keuangan multilateral yang sudah ada menimbulkan kekhawatiran yang mendalam.
Dana L&D berisiko mewarisi kompleksitas dan keengganan risiko yang telah memperlambat akses GCF, yang pada gilirannya akan menunda penyaluran dana kritis kepada komunitas yang sudah mengalami kerugian eksistensial. Untuk memastikan efektivitas, pendanaan L&D harus bersifat tambahan (additional) terhadap pendanaan adaptasi. Selain itu, mekanisme bantuan teknis seperti Santiago Network on Loss and Damage (SNLD) yang bertujuan memobilisasi bantuan teknis bagi negara rentan, masih kekurangan pendanaan spesifik untuk implementasinya.
Inovasi untuk Ketahanan Sosial-Ekonomi Komunitas
Inovasi yang efektif harus mengintegrasikan teknologi dan transfer risiko finansial dengan penguatan jaringan sosial.
Pertanian Cerdas Iklim (Climate-Smart Agriculture/CSA) dan Teknologi Digital
Penerapan CSA melibatkan penyesuaian strategi pertanian, termasuk pemilihan komoditas, metode penanaman, pemupukan, dan pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) agar tahan terhadap perubahan iklim. Keberhasilan strategi ini sangat bergantung pada kolaborasi erat antara masyarakat, pemerintah desa, dan pendamping teknis yang memberikan arahan berbasis data ilmiah dan pengalaman lapangan.
Peran teknologi digital menjadi krusial. Sistem peringatan dini berbasis Internet of Things (IoT) dan Artificial Intelligence (AI) menawarkan waktu respons yang jauh lebih cepat bagi petani. Di India, aplikasi seperti Skymet digunakan oleh petani kecil untuk memantau kondisi cuaca real-time guna membantu pengambilan keputusan tanam dan panen. Penggunaan logika fuzzy dalam sistem IoT juga dapat meningkatkan kontrol atas variabel lingkungan, menyederhanakan proses pengambilan keputusan dalam budidaya tanaman.
Jaminan Sosial Adaptif dan Transfer Risiko Finansial
Model Cash+ di Sahel
Program Cash+ yang diterapkan oleh FAO di Sahel pasca-krisis kelaparan (2013-2015) menunjukkan bahwa intervensi sosial yang cerdas dapat menjadi investasi adaptasi produktif jangka panjang. Program ini menggabungkan transfer tunai (Cash) dengan penyediaan input, aset, atau pelatihan (Plus) untuk mendukung mata pencaharian produktif (bertani/menggembala).
Model ini memungkinkan masyarakat Sahel pulih dengan cepat, ditandai dengan peningkatan pendapatan, tabungan, dan kepemilikan aset, yang berujung pada peningkatan ketahanan pangan dan keragaman pola makan. Cash+ mendemonstrasikan bahwa jaminan sosial adaptif adalah bentuk infrastruktur ketahanan yang sangat efektif terhadap guncangan iklim.
Asuransi Berbasis Indeks Iklim (CII)
Asuransi Berbasis Indeks Iklim (CII) berfungsi sebagai mekanisme transfer risiko finansial yang melindungi petani dari kerugian yang disebabkan oleh kejadian cuaca ekstrem. CII mendukung pembangunan berketahanan iklim dengan memberikan kepastian finansial kepada petani kecil, yang sangat rentan terhadap kekeringan atau banjir.
Transfer Teknologi Internasional
PBB memegang peran vital dalam memfasilitasi transfer teknologi, melalui program pelatihan, bantuan teknis, dan kemitraan global. Climate Technology Centre & Network (CTCN) di bawah UNFCCC mempromosikan percepatan pengembangan dan transfer teknologi iklim atas permintaan negara berkembang untuk mencapai pembangunan berketahanan iklim. Namun, investasi teknologi iklim global masih sangat terkonsentrasi, di mana negara-negara di Global South hanya menerima seperempat dari total investasi.
Rekomendasi Kebijakan Strategis dan Peningkatan Dukungan Internasional
Dukungan internasional yang efektif harus melampaui janji keuangan, fokus pada reformasi tata kelola, dan membangun kapasitas lokal untuk inovasi.
Menutup Kesenjangan Pendanaan Adaptasi
- Reorientasi Investasi MDBs: MDBs harus didorong untuk secara signifikan meningkatkan alokasi pendanaan adaptasi dari 31% saat ini menjadi mayoritas pendanaan di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Pendanaan adaptasi harus diakui dan diperlakukan sebagai investasi produktif untuk membangun ketahanan, bukan sekadar biaya tambahan.
- Pemenuhan Target SIDS dan LDC: Komitmen internasional harus segera dipenuhi untuk menutup kesenjangan pendanaan adaptasi senilai $50 miliar per tahun bagi SIDS dan LDC.
- Mobilisasi Sumber Daya PBB: PBB perlu memanfaatkan forumnya untuk memfasilitasi dialog dan kemitraan global yang kuat antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil untuk memobilisasi sumber daya keuangan yang lebih besar untuk pembangunan berkelanjutan.
Reformasi Tata Kelola Dana Iklim
Tata kelola pendanaan harus disederhanakan untuk mengatasi hambatan birokrasi dan kecepatan penyaluran.
- Tata Kelola L&D yang Cepat dan Adaptif: Struktur operasional Dana L&D, meskipun di-host oleh Bank Dunia sebagai FIF , harus dirancang secara independen agar tidak mewarisi prosedur birokrasi kaku GCF (ESS yang menghambat inovasi). Kecepatan penyaluran sangat penting karena kerugian yang dialami SIDS sudah tidak terhindarkan.
- Pendanaan Operasional SNLD: Dana operasional spesifik harus dialokasikan untuk Santiago Network on Loss and Damage (SNLD) guna memastikan mobilisasi bantuan teknis dapat dilakukan secara efektif, menghubungkan negara rentan dengan bantuan yang diperlukan untuk mengatasi kehilangan dan kerusakan di tingkat lokal, nasional, dan regional.
- Adaptasi Prosedur GCF: GCF harus didorong untuk merevisi kebijakan risiko dan prosedur akreditasi yang terlalu kaku. Fleksibilitas ini akan memungkinkan investasi pada proyek-proyek inovatif yang berisiko tinggi namun berpotensi berdampak besar di negara-negara yang sangat rentan.
Transfer Teknologi dan Peningkatan Kapasitas
Investasi internasional harus beralih dari sekadar transfer perangkat keras (teknologi) menjadi pembangunan kapasitas kelembagaan.
- Pembangunan Kapasitas Serap Lokal: Program dukungan teknis, khususnya melalui CTCN , harus berfokus pada penguatan kapasitas teknis dan kelembagaan di negara penerima. Hal ini memastikan bahwa teknologi adaptasi (seperti IoT dan AI) dapat diimplementasikan, dipelihara, dan disesuaikan secara berkelanjutan oleh masyarakat lokal, sehingga menjembatani kesenjangan antara inovasi dan implementasi efektif.
- Strategi Adaptasi Ganda: Di wilayah kering (seperti Sahel), pendanaan harus mendukung strategi adaptasi ganda yang siap menghadapi kontradiksi iklim—baik kekeringan berkepanjangan maupun pola curah hujan yang kacau/banjir bandang.
Membangun Ketahanan Sosial yang Inklusif
Model jaminan sosial adaptif harus menjadi elemen inti strategi adaptasi iklim.
- Adopsi Jaminan Sosial Adaptif: Mendorong adopsi model Cash+ secara luas sebagai strategi utama adaptasi. Dengan memperkuat aset dan kapasitas produktif masyarakat, model ini secara struktural meningkatkan ketahanan pangan dan sosial, memperlakukannya sebagai investasi infrastruktur, bukan sekadar bantuan kemanusiaan.
- Integrasi Kesehatan dan Lingkungan: Mengintegrasikan strategi global tentang Kesehatan, Lingkungan, dan Perubahan Iklim untuk memastikan bahwa risiko kesehatan tradisional (air minum yang tidak aman, sanitasi) yang diperburuk oleh iklim turut ditangani. Pendekatan ini memastikan bahwa tindakan perlindungan kesehatan didasarkan pada bukti ilmiah dan implikasi ekonomi dari solusi holistik.
