Aspek maritim menempati posisi sentral dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, melampaui sekadar catatan ekonomi. Sejak abad ke-1 Masehi, ketika jalur perdagangan laut Asia mulai dikenal secara luas, wilayah Nusantara bagian barat telah memetik keuntungan signifikan dari interaksi perdagangan maritim. Interaksi ini menghasilkan pembentukan kantong-kantong niaga (emporium) yang akhirnya berkembang menjadi kekuatan politik besar (imperium).
Lautan berfungsi sebagai media utama untuk sirkulasi ideologis dan fusi teknologi. Melalui jalur ini, terjadi penyebaran agama Hindu dan Budha, yang kemudian disusul oleh Islam dan Kristen. Selain itu, sejarah maritim juga mencakup proses alih pengetahuan dan kreasi teknologi perkapalan. Misalnya, kapal galey, yang awalnya merupakan jenis kapal perang Arab, diproduksi oleh pandai kapal Portugis dan bahkan ditemukan di kawasan timur Nusantara, menunjukkan proses adaptasi teknologi yang dinamis. Ini menegaskan bahwa kekuatan maritim awal Nusantara merupakan sintesis dari kekuatan ekonomi yang kuat (emporium) dan kekuatan soft-power yang memfasilitasi inkubasi budaya dan teknologi di regional Asia Tenggara.
Akar Budaya Austronesia dan Kecakapan Pelayaran Awal
Fondasi kebudayaan maritim Nusantara berakar kuat pada periode prasejarah melalui Migrasi Austronesia. Migrasi ini membawa serta keahlian navigasi dan teknologi perahu yang menjadi dasar orientasi bahari masyarakat kepulauan Indonesia. Orientasi ini melahirkan keahlian navigasi tradisional yang canggih.
Pada abad ke-16, pelaut pribumi sudah terkenal dengan keahlian dan kecakapannya dalam berlayar, menggunakan sistem navigasi tradisional yang berbasis pada pengamatan angin. Kecakapan ini memungkinkan mereka membawa kapal dengan waktu yang singkat serta melewati jalur yang sulit. Keberadaan sistem navigasi tradisional yang sudah berada pada tahap maju pada abad ke-16 menunjukkan bahwa jaringan maritim pra-Eropa dikelola dengan efisiensi tinggi, berlandaskan pengetahuan lokal yang mendalam. Hal ini menyiratkan bahwa ketergantungan pada teknologi Barat pada periode kolonial di kemudian hari bukanlah akibat ketidakmampuan, melainkan disrupsi sistemik terhadap modal intelektual maritim lokal.
Warisan teknologi perkapalan Nusantara terbukti melalui berbagai jenis kapal, di antaranya:
- Kapal Pencalang: Tercatat dalam sejarah dan relief Candi Borobudur, kapal ini digunakan Majapahit untuk perdagangan dan peperangan. Kapal Pencalang, dengan layar tinggi, cocok untuk memata-matai musuh dan bahkan menjadi simbol resmi Kesultanan Siak Sri Indrapura.
- Kapal Pinisi: Kapal legendaris dari Sulawesi Selatan ini sarat makna dan sejarah. Kapal Pinisi diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia. Jenis kapal lain termasuk perahu Golekan Lele dari Madura, yang merupakan perahu dagang jarak jauh untuk mengangkut barang antar pulau.
Kekuatan Maritim Klasik: Dari Emporium ke Imperium
Posisi Geografis Nusantara sebagai Poros Niaga Global
Posisi silang geografis Nusantara merupakan konstanta geopolitik yang menentukan seluruh sejarahnya. Indonesia terhubung secara langsung ke dalam jaringan perdagangan dunia. Kementerian Perhubungan mencatat bahwa sekitar 40% jalur perdagangan dunia melewati wilayah Indonesia.
Selat Malaka secara historis dan kontemporer berfungsi sebagai pintu gerbang krusial, menghubungkan pedagang-pedagang China dan India. Kondisi geografis ini, yang memberikan Indonesia empat titik strategis maritim, adalah landasan fundamental bagi ambisi nasional untuk menjadi Poros Maritim Dunia (PMD). Namun, keuntungan posisi silang ini juga inheren membawa risiko keamanan maritim. Sejak awal abad ke-1 Masehi, posisi Selat Malaka sebagai chokepoint utama menarik perhatian global, sebuah dikotomi yang menjelaskan fokus kekuatan klasik Nusantara.
Sriwijaya (Abad ke-7 hingga ke-13 M): Kendali Atas Selat Malaka
Kerajaan Sriwijaya merupakan contoh nyata thalassocracy (kekuatan berbasis laut) yang dominan di Asia Tenggara. Sriwijaya menjadi imperium maritim Nusantara yang menguasai perdagangan dunia selama enam abad. Kekuatan ini didasarkan pada kemampuan maritim yang superior dan kontrol efektif atas Selat Malaka, berlangsung dari abad ke-7 hingga abad ke-13 Masehi.
Sriwijaya mengadopsi model ekonomi emporium dengan menguasai pelabuhan transit dagang vital di sekitar Selat Malaka, seperti Muara Jambi dan Barus. Kerajaan memperoleh keuntungan berlimpah dari kapal-kapal asing melalui bea cukai dan perdagangan komoditas eksklusif, seperti cengkeh, pala, kapur barus, timah, perak, dan emas. Posisi strategis ini memastikan Sriwijaya menjadi pemain aktif, bukan sekadar penonton, dalam rantai pasok global. Kapal-kapal Sriwijaya sendiri tercatat mampu melakukan pelayaran jarak jauh hingga ke China, menunjukkan jaringan niaga yang luas dan kemampuan navigasi yang andal. Selain kekayaan dagang, Sriwijaya juga dikenal sebagai pusat pendidikan Buddhis terkemuka di Asia Tenggara, menunjukkan strategi penggunaan soft power untuk memperkuat stabilitas regional.
Majapahit (Abad ke-13 hingga ke-15 M): Integrasi Nusantara
Sementara Sriwijaya berfokus pada kontrol jalur (emporium), Majapahit mewakili model imperium yang berfokus pada integrasi teritorial maritim. Armada Laut Majapahit, terutama di bawah kepemimpinan Raja Hayam Wuruk, memiliki strategi kemaritiman yang handal, memungkinkannya menguasai setiap jengkal samudra Nusantara pada abad ke-13.
Konsep kedaulatan Majapahit melihat lautan bukan sebagai pemisah, melainkan sebagai perairan nasional yang menghubungkan daratan, sebuah preseden historis yang penting bagi konsep modern Wawasan Nusantara.
Perbandingan antara kedua kerajaan klasik ini menunjukkan perbedaan mendasar dalam penekanan kedaulatan maritim, meskipun keduanya sama-sama dominan:
Perbandingan Model Imperium Maritim Klasik Nusantara
| Aspek Kedaulatan | Sriwijaya (Abad 7–13 M) | Majapahit (Abad 13–15 M) |
| Fokus Utama | Kontrol Jalur Perdagangan (Selat Malaka, Chokepoints) | Integrasi Teritorial Nusantara (Konsep Laut Penghubung) |
| Model Ekonomi | Thalassocracy/Emporium (Bea Cukai, Transit Hub, Komoditas) | Imperium (Ekspansi Politik, Administrasi, Upeti) |
| Kekuatan Inti | Angkatan Laut Niaga, Diplomasi Budaya (Pusat Buddhis) | Angkatan Laut Militer, Panglima Handal |
| Kaitan Hukum Modern | Penguasaan De Facto (Kontrol Ekonomi) | Preseden Konsep Archipelagic State (Laut sebagai Kedaulatan) |
Jalur Rempah dan Jaringan Global Asia
Nusantara sebagai Titik Sentral Jalur Rempah
Jauh sebelum kedatangan bangsa Barat, Nusantara telah menjadi jantung dari jaringan perdagangan global yang dikenal sebagai Jalur Rempah. Para pedagang Nusantara memperdagangkan rempah-rempah, terutama dari Banda dan Maluku, hingga ke pelabuhan-pelabuhan di India dan Afrika. Asia Tenggara saat itu adalah wilayah perdagangan yang sangat ramai.
Komoditas yang diperdagangkan sangat beragam, mencakup rempah-rempah, porselen, sutra, hingga budak zanggi dari Afrika. Menariknya, alat tukar yang digunakan juga beragam, mulai dari kerang, manik-manik, moko, hingga uang logam (emas, timah, perak, tembaga) yang dikeluarkan oleh beberapa kerajaan Nusantara antara Abad ke-9 hingga ke-16.
Penting untuk membedakan jalur ini dari narasi Maritime Silk Road. Jalur Rempah memiliki rute spesifik yang menempuh jarak sekitar 15 ribu km dan berorientasi pada komoditas endemik dari Nusantara.
Komoditas Unggulan dan Konektivitas Regional
Pulau-pulau di Nusantara Timur, seperti Kepulauan Maluku (Halmahera dan Seram) dan Kepulauan Banda, merupakan pusat produksi utama rempah yang saling terhubung dalam sebuah jaringan perdagangan internal. Selain cengkeh dan pala, lada dari Nusantara bagian barat, terutama Aceh, juga menjadi komoditas ekspor vital. Sultan Iskandar Muda pada abad ke-16 aktif mengekspor lada hingga menempuh Laut Mirah (India/Timur Tengah), menarik minat pedagang Eropa seperti Downton dan Peter Mundy.
Hubungan Maritim Pra-Eropa: Integrasi Tiga Peradaban
Sejak abad pertama Masehi, sejarah perdagangan laut Nusantara menunjukkan perannya sebagai penghubung dua peradaban besar, yaitu China dan India, dengan Selat Malaka sebagai pintu gerbang utama. Nusantara tidak hanya menjadi jembatan, melainkan pemain kunci yang berada di tengah strategi maritim yang menghubungkan India dan China.
Jaringan Jalur Rempah pra-Eropa menunjukkan adanya kedaulatan pasar yang secara efektif dikendalikan oleh kekuatan lokal Nusantara melalui kontrol atas produksi rempah dan distribusi ke Asia Barat. Kemampuan pedagang Nusantara untuk berlayar hingga Afrika dan India, serta regulasi alat tukar lokal , mengindikasikan adanya mandala ekonomi yang kuat dan mandiri. Kehadiran kekuatan Eropa kemudian bukan sekadar interaksi dagang, melainkan upaya untuk mengakuisisi dan mendominasi kedaulatan pasar yang sudah terbentuk ini.
Disrupsi Kolonial dan Kemunduran Budaya Maritim
Kedatangan Eropa dan Pergeseran Pusat Kekuasaan Laut
Kedatangan bangsa Eropa, terutama Portugis dan Belanda, memperkenalkan dinamika militer dan ekonomi baru yang mengganggu kedaulatan maritim lokal. Meskipun terjadi proses alih teknologi perkapalan (seperti adopsi kapal galey) , kedatangan ini pada dasarnya menggeser kekuasaan laut.
Perlawanan keras datang dari kerajaan-kerajaan besar. Misalnya, Kesultanan Aceh di bawah Sultan Iskandar Muda, mengerahkan armada besar yang mampu menampung delapan ratus orang untuk menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1629. Walaupun perlawanan ini melibatkan kekuatan penuh Aceh, kegagalan mengusir Portugis menandai penguatan kontrol asing di chokepoints utama Nusantara.
Monopoli VOC dan Kehancuran Jaringan Ekonomi Lokal
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) menjalankan praktik monopoli eksploitatif terhadap komoditas rempah, terutama cengkeh dan pala, di Kepulauan Maluku. Tujuan utama praktik ini adalah menghapus hak eksklusif dan kedaulatan ekonomi tanaman asli Indonesia, yang membawa kerugian ekonomi masif bagi masyarakat dan kerajaan lokal.
Dampak kolonialisme bersifat sistemik dan jangka panjang. Selain kerugian materiil, praktik monopoli ini juga secara efektif “mencabut” ingatan kolektif atas kekayaan rempah dan, yang lebih parah, menghapus pengetahuan tradisional bahari yang telah maju (seperti navigasi berbasis angin) akibat proteksi ketat dan pengawasan Belanda. Kolonialisme secara sistematis menghancurkan budaya maritim Nusantara, meminggirkan pelayaran tradisional demi kepentingan perdagangan kolonial. Proses ini merupakan pembalikan drastis dari filosofi Majapahit yang memandang laut sebagai penghubung.
Warisan Kolonial dalam Hukum Laut
Di bidang hukum, kolonialisme Belanda menjalankan politik penguasaan ruang laut yang memfragmentasi kedaulatan. Mereka mendefinisikan batas laut teritorial hanya sejauh 3 mil dari pantai, menjadikan perairan di antara pulau-pulau besar sebagai perairan internasional (Vrije Zee). Desain legal ini bertujuan untuk melanggengkan penguasaan sumber daya alam dan secara hukum memecah belah Nusantara menjadi ribuan unit yang terpisah oleh laut bebas.
Reaffirmasi Kedaulatan: Deklarasi Djuanda dan Wawasan Nusantara
Konsepsi Negara Kepulauan (Archipelagic State)
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Negara Republik Indonesia secara geografis diakui sebagai negara kepulauan. Namun, dibutuhkan dasar hukum yang kuat untuk mengatasi fragmentasi teritorial yang diwariskan oleh politik penguasaan ruang laut Belanda.
Deklarasi Djuanda, yang dikumandangkan oleh Perdana Menteri Djuanda Kartawidaja pada 13 Desember 1957, adalah pernyataan yang menentang kolonialisme dan secara eksplisit melawan politik ruang laut Belanda. Isi deklarasi ini sangat krusial: segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau di Indonesia, tanpa memandang luas atau lebarnya, dinyatakan sebagai Perairan Pedalaman atau Perairan Nasional di bawah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tujuan dan Implementasi Deklarasi Djuanda
Deklarasi Djuanda memiliki tujuan strategis yang bersifat fundamental bagi integritas bangsa:
- Membentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia secara utuh dan bulat.
- Menentukan batas-batas wilayah Republik Indonesia sesuai dengan asas negara kepulauan.
- Memberikan kontrol terhadap lalu lintas damai pelayaran untuk menjamin keamanan dan keselamatan NKRI.
Deklarasi ini merupakan kemenangan geopolitik pasif yang mengubah Indonesia dari sekadar kumpulan pulau (geographic archipelago) menjadi negara kepulauan politik (political archipelagic state). Apabila batas-batas laut ini tidak dideklarasikan, wilayah laut yang luas—termasuk sumber daya maritim dan Jalur Rempah—tidak akan dapat diberdayakan dan dikontrol sepenuhnya oleh Bangsa Indonesia.
Pengakuan Internasional (UNCLOS 1982) dan Wawasan Nusantara
Deklarasi Djuanda memicu perjuangan diplomasi hukum laut internasional. Perjuangan ini berpuncak pada Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) tahun 1982, di mana konsep Negara Kepulauan diakui secara internasional. Pengesahan UNCLOS 1982 melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 mempertegas status Indonesia sebagai negara kepulauan di mata hukum internasional.
Secara filosofis, Deklarasi Djuanda merupakan perwujudan fisik dari konsep Wawasan Nusantara, yang menekankan pandangan integralistik bahwa darat, laut, dan udara merupakan satu kesatuan tak terpisahkan. Konsep ini bertujuan untuk menyatukan wilayah, sejalan dengan prinsip historis kedaulatan laut Majapahit.
Poros Maritim Dunia (PMD): Tantangan Kontemporer dan Prospek
Visi Indonesia 2045 sebagai Poros Maritim Dunia
Visi Poros Maritim Dunia (PMD) merupakan aspirasi kontemporer Indonesia untuk mengembalikan kejayaan maritim masa lalu. PMD didefinisikan sebagai visi untuk menjadikan Indonesia sebuah negara maritim yang berdaulat, maju, mandiri, kuat, dan mampu memberikan kontribusi positif bagi keamanan dan perdamaian kawasan serta dunia, sesuai dengan kepentingan nasional. Visi ini secara implisit mencoba mengintegrasikan filosofi historis Majapahit, termasuk nilai persatuan Bhinneka Tunggal Ika, dalam konteks maritim modern.
Lima Pilar Strategi PMD
Pemerintah mewujudkan visi PMD melalui lima pilar strategis yang komprehensif:
- Pembangunan Budaya Maritim Indonesia: Bertujuan untuk merevitalisasi identitas bangsa sebagai bangsa pelaut.
- Komitmen Pengelolaan Sumber Daya Laut: Membangun kedaulatan pangan laut (seperti hasil perikanan di Natuna) dan mengembangkan industri perikanan berkelanjutan.
- Infrastruktur dan Konektivitas Maritim: Mencakup pembangunan pelabuhan laut, program tol laut, dan pengembangan industri perkapalan.
- Diplomasi Maritim: Menekankan peran aktif Indonesia dalam menjaga stabilitas dan keamanan kawasan dan global.
- Keamanan Laut: Memperkuat keamanan dan pertahanan maritim untuk menjaga kedaulatan wilayah.
Tantangan Geopolitik dan Ekonomi
Posisi silang Indonesia—terletak di antara Benua Asia dan Australia, serta Samudera Pasifik dan Hindia —meskipun merupakan berkah, juga menimbulkan tantangan besar. Potensi maritim yang begitu besar dapat memicu konflik. Tantangan geopolitik mencakup kerentanan di selat-selat penting (Sunda, Malaka) dan Laut Tiongkok Selatan.
Kegagalan dalam mencapai visi PMD dikhawatirkan dapat menyebabkan Indonesia terjebak dalam middle income trap. Hal ini memerlukan strategi jangka panjang yang komprehensif, mencakup pembangunan infrastruktur, logistik, dan industri perkapalan yang terintegrasi. Kegagalan PMD pada dasarnya merupakan pengulangan sejarah kolonial, di mana kontrol atas sumber daya dan rute maritim diserahkan kepada kekuatan eksternal, meskipun kali ini melalui mekanisme ekonomi dan geopolitik kontemporer. Untuk berhasil, Indonesia harus bertransformasi dari sekadar jalur geografis (yang dilintasi 40% perdagangan) menjadi pusat kendali strategis.
Prospek Pembangunan Berkelanjutan (Blue Economy)
Sektor maritim menawarkan prospek masa depan yang cerah bagi Indonesia. Potensi laut, termasuk minyak bumi dan bahan tambang, memberikan kontribusi pendapatan nasional yang tinggi. Program Blue Economy diyakini sebagai andalan pendapatan ekonomi nasional yang berkelanjutan, terutama karena sumber daya ikan—seperti di perairan Kepulauan Natuna—merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui. Mengarahkan pembangunan ke sektor maritim berkelanjutan sangat penting untuk memastikan bahwa sumber daya laut tidak habis dieksploitasi dan dapat menjadi kontributor jangka panjang bagi ekonomi nasional.
Sinkronisasi Lima Pilar Poros Maritim Dunia dengan Tantangan Geopolitik
| Pilar PMD (Visi 2045) | Akar Historis (Yang Coba Dipulihkan) | Tantangan Kontemporer Utama | Indikator Keberhasilan |
| Pembangunan Budaya Maritim | Ingatan Kolektif Pra-Kolonial | Fragmentasi identitas, orientasi daratan | Peningkatan SDM transportasi laut andal |
| Pengelolaan Sumber Daya Laut | Kekuatan Ekonomi Jalur Rempah | Illegal fishing, konflik perbatasan, kerusakan ekosistem | Realisasi Blue Economy, ketahanan pangan laut |
| Infrastruktur & Konektivitas | Jaringan Niaga Sriwijaya/Majapahit | Kesenjangan logistik, biaya tinggi, middle income trap | Pembangunan Tol Laut, Industri Perkapalan |
| Keamanan Maritim | Kontrol Kedaulatan Laut Majapahit | Ancaman transnasional, tumpang tindih regulasi | Penjagaan lalu lintas damai (sejalan Djuanda) |
| Diplomasi Maritim | Peran Sriwijaya (Pusat Internasional) | Klaim wilayah, persaingan India-China | Kontribusi positif bagi keamanan kawasan dan dunia |
Warisan Budaya dan Sintesis Strategis
Warisan Budaya Maritim yang Diadaptasi (Studi Kasus Pinisi)
Kapal Pinisi dari Sulawesi Selatan adalah manifestasi nyata dari resiliensi budaya maritim Nusantara. Pinisi tidak hanya memegang peranan penting dalam sejarah peradaban maritim Indonesia, tetapi juga menjadi penghubung budaya dan perdagangan ke berbagai belahan dunia. Kapal yang telah diproduksi masyarakat Bugis-Makassar sejak abad ke-14 ini merupakan jati diri, makna, dan simbol budaya laut yang tak terpisahkan. Pengakuan UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia semakin memperkuat status legendarisnya.
Pinisi menunjukkan pengembangan teknologi berbasis budaya lokal yang mampu beradaptasi. Pinisi telah berevolusi dari jenis tertua (Salompong) menjadi jenis yang lebih cepat dan berkapasitas besar (Pinisi Jonggolang), hingga Pinisi Lambo yang mulai dimotorisasi pada tahun 1972. Adaptasi ini menjadikan Pinisi sebagai komoditas ekonomi modern. Banyak investor asing kini mengembangkan Pinisi untuk sarana kepariwisataan laut, menggabungkan desain dan bahan tradisional dengan fasilitas modern dan mesin canggih, menjadikannya seperti hotel berbintang di lautan. Keberhasilan adaptasi Pinisi membuktikan bahwa warisan teknologi bahari dapat diintegrasikan ke dalam strategi ekonomi PMD, menjembatani Pilar Budaya Maritim dan Pilar Ekonomi PMD.
Kesimpulan Historis dan Sintesis Strategis
Sejarah Maritim Nusantara adalah sebuah siklus kausalitas yang mendalam: periode kedaulatan dan integrasi (Austronesia, Sriwijaya, Majapahit) diikuti oleh fragmentasi dan penghapusan identitas (Kolonialisme), yang kemudian direbut kembali melalui reafirmasi hukum (Deklarasi Djuanda), dan kini diwujudkan sebagai aspirasi global (Poros Maritim Dunia).
Pelajaran utama dari sejarah ini adalah bahwa kedaulatan laut merupakan prasyarat utama kedaulatan nasional. Konsep negara kepulauan yang diperjuangkan melalui Deklarasi Djuanda adalah senjata legal terpenting yang digunakan Indonesia untuk menyatukan wilayah yang hilang akibat politik penguasaan ruang laut kolonial. Pengakuan ini memungkinkan Indonesia untuk mengendalikan wilayah perairan yang penting bagi ekonomi dan keamanan.
Berdasarkan analisis historis dan tantangan kontemporer, diperlukan langkah-langkah strategis untuk menjamin keberhasilan visi Poros Maritim Dunia:
- Penguatan Pilar Budaya dan Pendidikan: Diperlukan revolusi mental bahari dengan memasukkan sejarah maritim, keahlian navigasi tradisional, dan teknologi lokal (seperti Pinisi) ke dalam kurikulum pendidikan nasional secara mendalam. Hal ini penting untuk mengatasi penghapusan ingatan kolektif dan memulihkan identitas bangsa sebagai pelaut.
- Integrasi Hukum dan Keamanan Laut: Pemerintah perlu menyelesaikan tumpang tindih regulasi di sektor maritim (terkait keamanan nasional, otonomi daerah, dan yurisdiksi) untuk memastikan pelaksanaan penuh UNCLOS 1982 dan kontrol efektif atas titik-titik silang strategis yang rentan konflik.
- Diversifikasi Ekonomi Biru Berkelanjutan: Investasi harus diarahkan tidak hanya pada pembangunan infrastruktur keras (pelabuhan, tol laut) tetapi juga pada sektor industri maritim berkelanjutan, seperti pengolahan perikanan hulu-hilir dan bioteknologi laut. Strategi Blue Economy harus diintensifkan untuk mencegah Indonesia terjebak dalam middle income trap dan memastikan keberlanjutan sumber daya yang ada.
- Diplomasi Berbasis Warisan: Menggunakan warisan budaya (misalnya, Kapal Pinisi dan Jalur Rempah) sebagai alat diplomasi aktif. Hal ini memungkinkan Indonesia untuk memperkuat posisi tawarnya di antara kekuatan besar (India dan China) dan mempromosikan perdamaian regional yang berakar pada peran historis Nusantara sebagai jembatan niaga dunia.
