Mao Zedong (1893–1976) adalah salah satu figur paling berpengaruh, sekaligus paling mematikan, di abad ke-20. Beliau dihormati sebagai pendiri Republik Rakyat Tiongkok (RRT), seorang pemimpin yang mengakhiri konflik internal dan imperialisme asing, serta membangkitkan kebanggaan nasional Tiongkok. Namun, warisan kepemimpinannya terbelah oleh kebijakan radikal yang menyebabkan kematian puluhan juta rakyatnya, terutama melalui Lompatan Jauh ke Depan dan Revolusi Kebudayaan.

Posisi Mao di Tiongkok kontemporer bersifat paradoks dan sangat sensitif secara politik. Potret besarnya masih mendominasi Lapangan Tiananmen dan muncul pada setiap mata uang yuan, disandingkan secara simbolis dengan Konfusius sebagai lambang kebesaran sejarah dan stabilitas nasional. Meskipun reformasi berbasis pasar Tiongkok selama tiga dasawarsa terakhir telah membalikkan hampir semua kebijakan ekonomi Mao , Partai Komunis Tiongkok (PKT) tetap mempertahankan warisan ideologisnya sebagai fondasi legitimasi.

Kepekaan terhadap warisan ini terlihat jelas dalam respons keras terhadap kritik publik. Sebagai contoh, seorang dosen dipecat setelah mengunggah komentar daring yang mengkritik Mao, memicu kemarahan dari kalangan sayap kiri yang memandang Mao sebagai ikon anti-kapitalis. PKT di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping pasca-1976 mengambil langkah strategis pada Juni 1981 dengan menyetujui resolusi yang mengkritik periode pemerintahan Mao setelah tahun 1958, namun tetap mengukuhkan tempatnya sebagai pemimpin besar dan ideolog revolusi. Strategi ini memungkinkan PKT untuk mempertahankan legitimasi revolusionernya yang tak tergoyahkan (yang berakar pada kepemimpinan Mao sebelum 1958) sambil secara efektif menyalahkan bencana-bencana berikutnya pada “kekeliruan” Mao pasca-1958, sehingga membenarkan reformasi ekonomi kapitalistik yang masif yang diluncurkan kemudian.

Kebangkitan Revolusioner dan Landasan Kekuasaan (1893–1949)

Peran dalam PKT dan Adaptasi Marxisme

Mao Zedong memainkan peran sentral dalam pengembangan dan kepemimpinan awal Partai Komunis Tiongkok. Berbeda dengan teori Marxis ortodoks yang mengutamakan proletariat industri sebagai garda depan revolusi, Mao menyadari bahwa realitas Tiongkok adalah masyarakat agraris yang didominasi oleh populasi petani yang besar. Pengakuan terhadap realitas pedesaan ini termanifestasi dalam keputusannya untuk mundur bersama sekelompok kecil pengikut ke daerah pegunungan berhutan di Jinggangshan, Provinsi Jiangxi. Keputusan ini bukan hanya taktik militer, tetapi juga menunjukkan penyesuaian radikal terhadap teori revolusioner, menempatkan petani sebagai kekuatan utama revolusi, yang kemudian menjadi ciri khas Maoisme.

Signifikansi Strategis Long March (1934–35)

Momen krusial dalam konsolidasi kekuasaan Mao adalah Long March yang terkenal (1934–35). Perjalanan historis sejauh 6000 mil (10000 km) ini merupakan retret militer dari pasukan Kuomintang (KMT), yang mengakibatkan pemindahan basis revolusioner komunis dari Tiongkok tenggara ke barat laut.

Secara politik, Long March bukan sekadar aksi bertahan hidup. Perjalanan yang brutal dan melelahkan ini menyingkirkan banyak pesaing politik dan militer Mao, memastikan bahwa faksi-faksi yang tersisa benar-benar loyal dan tunduk pada otoritasnya. Melalui Long March, Mao Zedong muncul sebagai pemimpin partai yang tidak terbantahkan. Konsolidasi kekuasaan total dan pribadi yang tak tertandingi ini, yang diperoleh melalui perjuangan keras, merupakan prasyarat mutlak yang memungkinkan beliau untuk meluncurkan kebijakan yang sangat radikal dan masif di kemudian hari, seperti Lompatan Jauh ke Depan dan Revolusi Kebudayaan. Tanpa otoritas yang tidak tertandingi ini, mustahil kebijakan-kebijakan yang mengabaikan birokrasi dan pengetahuan ahli dapat dipaksakan ke seluruh Tiongkok.

Pemikiran Mao Zedong (Maoisme): Ideologi Revolusi Abadi

Maoisme, yang juga dikenal sebagai Pemikiran Mao Zedong, dikembangkan dari tahun 1950-an hingga kematian Mao pada tahun 1976. Ideologi ini diadaptasi secara khusus untuk kondisi sosial-politik Tiongkok yang didominasi agraria.

Prinsip-Prinsip Inti Maoisme

Maoisme secara fundamental menyimpang dari Marxisme-Leninisme Soviet. Keyakinan utamanya adalah bahwa dalam masyarakat agraris, kaum tani dapat dan harus menjadi kekuatan utama revolusi, berbeda dengan penekanan ortodoks pada proletariat perkotaan. Prinsip-prinsip inti Maoisme meliputi:

  1. Perang Rakyat (People’s War): Strategi militer yang melibatkan mobilisasi penduduk pedesaan untuk mengepung dan akhirnya merebut kota-kota. Strategi ini dikombinasikan dengan konsep Demokrasi Baru, yang menyerukan koalisi multi-kelas yang bersatu melawan imperialisme dan feodalisme.
  2. Garis Massa (Mass Line): Sebuah metode kepemimpinan yang berteori untuk memperoleh kebijakan yang benar melalui interpretasi kebutuhan dan gagasan massa, dan kemudian mengembalikannya ke tengah massa. Namun, dalam praktiknya, prinsip ini sering digunakan untuk membenarkan penindasan dan pemaksaan kehendak partai melalui mobilisasi massa yang histeris dan manipulatif.
  3. Revolusi Berkelanjutan (Continuous Revolution): Pilar ideologis terpenting yang menyatakan bahwa bahkan setelah kemenangan revolusioner dan penetapan kediktatoran proletariat, bahaya kembalinya kapitalisme tetap ada. Oleh karena itu, diperlukan pembersihan ideologis yang konstan dan proaktif untuk membersihkan sisa-sisa “budaya lama” dan mempromosikan “budaya proletar,” yang kemudian menjadi justifikasi utama untuk Revolusi Kebudayaan.

Tabel 1: Perbandingan Tenet Ideologis: Marxisme Ortodoks vs. Maoisme

Aspek Ideologis Marxisme Ortodoks (Soviet) Maoisme (Pemikiran Mao Zedong)
Garda Depan Revolusi Kelas pekerja industri (proletariat kota). Kaum Tani (petani) dan pedesaan.
Metode Revolusi Revolusi kota; didorong oleh kontradiksi internal kapitalisme yang matang. Perang Rakyat (mobilisasi pedesaan untuk mengepung kota); Anti-feodalisme dan anti-imperialisme.
Pembersihan Ideologis Terutama melalui Purge politik, fokus pada kontrol birokrasi. Revolusi Kebudayaan (upaya proaktif membersihkan budaya lama dan kelas yang berkuasa di dalam partai); Revolusi Berkelanjutan.

Taktik Pengkhianatan: Kampanye Seratus Bunga dan Anti-Sayap Kanan (1957)

Pada tahun 1957, Mao meluncurkan Kampanye Seratus Bunga untuk mempromosikan kebebasan berbicara dan mendorong kritik terhadap partai. Kampanye ini tampaknya merupakan upaya untuk mempromosikan diskusi terbuka, namun segera diikuti oleh kampanye balasan yang brutal: Kampanye Anti-Sayap Kanan.

Dalam Kampanye Anti-Sayap Kanan, mereka yang sebelumnya berani memberikan kritik—termasuk para cendekiawan dan intelektual—dilabeli sebagai “sayap kanan” dan menjadi sasaran pembersihan masif, termasuk pemenjaraan dan pembuangan. Peristiwa tahun 1957 ini menunjukkan pola politik yang mengerikan: Mao menggunakan undangan untuk kritik bukan sebagai mekanisme koreksi kebijakan yang tulus, melainkan sebagai mekanisme identifikasi musuh. Melalui Seratus Bunga, Mao menguji loyalitas elit dan secara efisien mengidentifikasi lawan ideologis sebelum meluncurkan eksperimen politik yang jauh lebih besar dan destruktif. Peristiwa ini berfungsi sebagai eksperimen awal yang memungkinkan Mao memahami cara terbaik untuk memobilisasi massa guna menargetkan dan melikuidasi oposisi internal.

Eksperimen Sosial dan Ekonomi: Bencana Lompatan Jauh ke Depan (1958–1961)

Visi Radikal dan Kegagalan Man-Made

Program Lompatan Jauh ke Depan (The Great Leap Forward, GLF) diluncurkan pada tahun 1958 sebagai puncak program radikal Mao, bertujuan untuk mentransformasi Tiongkok menjadi surga Komunis dengan cepat, menandingi Britania Raya dalam output industri, dan mencapai Komunisme sebelum Uni Soviet.

Visi ini didorong oleh ideologi Stalinistik yang menekankan peran kunci industri berat. Puluhan juta petani dialihkan dari ladang untuk berpartisipasi dalam proyek industrialisasi massa, yang paling terkenal adalah produksi baja di tungku belakang rumah. Upaya panik ini gagal total, karena sebagian besar hasil peleburan menghasilkan potongan besi cor yang rapuh dan tidak berguna. Kegagalan ini, ditambah dengan penolakan terhadap pengetahuan ahli, penetapan target produksi yang tidak realistis, dan kampanye pertanian yang merugikan (seperti kampanye anti-burung pipit yang justru meningkatkan populasi hama), menyebabkan kegagalan panen dan kelangkaan pangan yang meluas. Kelaparan yang terjadi sebagian besar merupakan bencana buatan manusia (man-made catastrophe), meskipun faktor kekeringan turut berkontribusi.

Analisis Kritis Korban Jiwa dan Debat Historiografi

Kelaparan yang melanda Tiongkok dari tahun 1958 hingga 1961 diakui sebagai salah satu bencana buatan manusia paling dahsyat dalam sejarah modern, menewaskan sekitar satu dari dua puluh warga Tiongkok. Jumlah korban jiwa yang disebabkan oleh Lompatan Jauh ke Depan telah menjadi subjek perdebatan dan politisasi ekstrem dalam historiografi Tiongkok.

Estimasi korban bervariasi secara dramatis:

  • Estimasi demografis akademis yang paling umum, didukung oleh rekonstruksi terbaik, menunjukkan sekitar 30 juta kematian akibat kelaparan.
  • Sejarawan Frank Dikötter menyebutkan angka sebesar 45 juta.
  • Klaim yang paling polemis, yang diajukan oleh Jung Chang dan John Halliday dalam buku mereka Mao: The Unknown Story, menyatakan bahwa Mao bertanggung jawab atas total lebih dari 70 juta kematian di masa damai.
  • Sementara itu, Pemerintah Tiongkok era Deng Xiaoping secara resmi melaporkan 16,5 juta kematian.
  • Perkiraan yang jauh lebih rendah (sekitar 4,9 juta) diajukan oleh Ekonom Minqi Li, yang didasarkan pada perbandingan tingkat kematian kasar per seribu pada masa GLF dengan tahun-tahun sebelumnya.

Variasi angka yang ekstrem ini mencerminkan polarisasi dalam studi Tiongkok. Angka yang sangat tinggi (seperti 70 juta) sering digunakan untuk memperkuat narasi Mao sebagai pemimpin totalitarian paling destruktif abad ke-20, sementara angka yang lebih rendah berupaya menyeimbangkan dampak kebijakan dengan faktor-faktor bencana alam dan konteks tingkat kematian tinggi di Tiongkok sebelum 1949.

Tabel 2: Perbandingan Estimasi Korban Jiwa Selama Bencana Kelaparan Lompatan Jauh ke Depan (1958-1961)

Sumber Estimasi Angka Korban Jiwa (Perkiraan) Konteks/Metodologi
Jung Chang & Halliday Lebih dari 70 Juta Biografi kritis (The Unknown Story); Klaim total kematian masa damai tertinggi.
Frank Dikötter 45 Juta Berdasarkan penelitian arsip baru; fokus pada kelaparan.
Estimasi Demografis Umum Sekitar 30 Juta Perkiraan yang banyak diterima di kalangan akademik Barat; bencana man-made.
Pemerintah Cina (Era Deng) 16,5 Juta Laporan resmi pasca-Mao; bagian dari pembabatan warisan Mao.
Ekonom Minqi Li 4,9 Juta Berdasarkan perbandingan tingkat kematian kasar per seribu.

Perdebatan Tanggung Jawab Politik

Awalnya, laporan pemerintah Mao menyatakan tragedi ini disebabkan 70 persen oleh bencana alam dan 30 persen oleh kesalahan manusia. Setelah rezim Deng Xiaoping berkuasa, komposisi ini dibalik, dengan 70 persen kesalahan diletakkan pada kesalahan manusia dan, secara implisit, pada Mao Zedong.

Namun, analisis kekuasaan menunjukkan bahwa tanggung jawab implementasi Lompatan Jauh ke Depan tidak sepenuhnya terpusat pada Mao. Mao secara bertahap mundur ke “garis kedua” kepemimpinan partai, dan tokoh-tokoh seperti Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping memegang tanggung jawab kunci atas pelaksanaan komune penduduk, produksi industrial, dan propaganda selama periode krusial Juni hingga Oktober 1958. Oleh karena itu, tragedi GLF dianggap sebagai kegagalan kolektif kepemimpinan puncak PKT, meskipun Mao tetap memegang tanggung jawab ideologis utama karena ia adalah arsitek konseptual dan pendorong utama radikalisme kebijakan tersebut.

Krisis Otoritas dan Pembersihan Politik: Revolusi Kebudayaan (1966–1976)

Setelah kegagalan GLF, otoritas Mao di dalam partai melemah. Sebagai respons, Mao meluncurkan Revolusi Kebudayaan Besar Proletariat pada tahun 1966. Gerakan ini merupakan upaya besar untuk mengembalikan dominasi pribadinya melalui mobilisasi massa yang histeris dan brutal.

Motivasi dan Dinamika Kekuasaan

Motivasi utama Revolusi Kebudayaan adalah untuk mengimplementasikan konsep Revolusi Berkelanjutan, yaitu membersihkan “sisa-sisa budaya lama” dan, yang lebih penting, menargetkan “kaum jalan kapitalis” yang dicurigai berada di dalam struktur PKT. Revolusi Kebudayaan adalah upaya radikal Mao untuk menghancurkan birokrasi partai yang mapan yang telah mencoba membatasi kekuasaannya pasca-GLF. Hal ini menunjukkan bahwa Mao memandang kontrol ideologis dan kekuasaan personal lebih penting daripada stabilitas administrasi negara.

Pembersihan Elit dan Kekacauan Sosial

Revolusi Kebudayaan ditandai oleh kekacauan massa dan pembersihan politik yang meluas.

  1. Penargetan Elit: Target utama adalah tokoh-tokoh tingkat atas yang dianggap kritis terhadap Mao, seperti Liu Shaoqi, Presiden RRT, yang disingkirkan dari semua jabatan dan meninggal dalam tahanan.
  2. Kekerasan Massa: Mao memobilisasi Garda Merah (Red Guards), yang menyebabkan kerusuhan besar-besaran dan kekerasan sporadis yang mengakibatkan kematian jutaan jiwa akibat konflik politik dan penindasan.
  3. Dampak Intelektual: Intelektual dan pendidikan menjadi sasaran utama pembersihan dan penindasan. Kerusakan yang ditimbulkan pada sistem pendidikan dan inovasi sangat besar, dan warisan buruk ini baru dapat diperbaiki dengan serius pada masa reformasi pasca-Mao, yang menggarisbawahi pentingnya inovasi dan pendidikan sebagai pilar modernisasi. Deng Xiaochao, seorang dosen kesenian, menyebut Revolusi Kebudayaan telah menewaskan dua juta jiwa.

Warisan Global Maoisme dan Geopolitik Anti-Revisionisme

Pengaruh Mao Zedong meluas jauh melampaui batas Tiongkok, menginspirasi gerakan revolusioner di seluruh dunia dan mengubah dinamika Perang Dingin.

Perpecahan Sino-Soviet

Setelah kematian Stalin, Tiongkok dan Uni Soviet mengalami keretakan ideologis yang mendalam, dikenal sebagai Perpecahan Sino-Soviet. Tiongkok, di bawah Mao, menganggap Uni Soviet telah menjadi “Negara Revisionis” yang mengkhianati nilai-nilai Komunisme sejati.

Persaingan negara ini begitu intens sehingga melampaui batas-batas ideologis. Sebagai contoh, pada tahun 1979, RRT memberikan bantuan kepada grup revolusioner merah di Afghanistan dan bahkan Taliban dalam melawan pemerintahan Sosialis Afghanistan yang didukung oleh Uni Soviet. Tindakan ini menunjukkan bahwa prioritas geopolitik (melawan ancaman Soviet) mendominasi pertimbangan ideologis murni dalam kebijakan luar negeri Tiongkok saat itu.

Ekspor Model Revolusi Rakyat

Maoisme menyediakan sebuah model revolusioner yang unik dan menarik bagi gerakan komunis di negara-negara yang sebagian besar agraris, menawarkan jalur “non-blok” yang menolak baik kapitalisme Barat maupun ‘revisionisme’ Soviet. Hal ini memberikan legitimasi global bagi kelompok-kelompok yang menganut kekerasan ekstrem di Dunia Ketiga.

Beberapa studi kasus penting meliputi:

  • Khmer Rouge (Kamboja): Tiongkok adalah pendukung utama Khmer Rouge antara tahun 1975 hingga 1979. Ideologi Khmer Rouge sangat dipengaruhi oleh Maoisme, khususnya penekanan pada pembersihan radikal dan fokus pada pedesaan.
  • Shining Path (Peru): Organisasi gerilya di Peru, secara resmi disebut Partai Komunis Peru, menganut Marxisme–Leninisme–Maoisme dan Pemikiran Gonzalo. Mereka meluncurkan People’s War pada tahun 1980 dengan tujuan menggulingkan pemerintah Peru. Mereka menganggap diri mereka sebagai garda depan gerakan komunis dunia yang anti-revisionis dan dipengaruhi oleh ideologi serta taktik Maois.
  • Gerakan Lain: Maoisme juga menginspirasi gerakan revolusioner di Nepal, Filipina, dan memengaruhi pemikiran kiri Barat selama tahun 1960-an dan 1970-an.

Historiografi, Kritik, dan Posisi Kontemporer PKT

Penilaian Resmi Pasca-Mao

Setelah kematian Mao dan naiknya Deng Xiaoping, Tiongkok mengakui bahwa warisan Mao menyisakan berbagai permasalahan, terutama dalam hal ekonomi. Kebijakan luar negeri Tiongkok kemudian diarahkan untuk mendukung agenda pembangunan dan reformasi ekonomi besar-besaran, yang sangat kontras dengan era Mao.

Resolusi penting PKT tahun 1981 secara resmi mengkritik pemerintahan Mao setelah tahun 1958, namun pada saat yang sama, menegaskan tempatnya sebagai pemimpin besar dan ideolog revolusi. Penilaian yang hati-hati ini adalah tindakan politis yang menyeimbangkan antara mengakui kesalahan besar di masa lalu (seperti GLF dan Revolusi Kebudayaan) dengan mempertahankan fondasi ideologis PKT.

Perdebatan Akademik Internasional

Di kalangan akademisi internasional, penilaian terhadap Mao telah berevolusi secara signifikan. Setelah kunjungan Richard Nixon pada tahun 1972 dan akses yang lebih besar bagi para sarjana, pandangan akademik di Barat mulai berubah dari simpati ideologis awal menjadi penilaian yang lebih realistis dan kritis terhadap harga darah yang harus dibayar oleh revolusi Tiongkok.

Literatur kritis, terutama karya yang ditujukan untuk pembaca umum seperti Mao: The Unknown Story oleh Jung Chang dan Jon Halliday, telah melabeli Mao sebagai diktator totaliter yang bertanggung jawab atas kematian massal. Meskipun karya ini laris manis, kritikus spesialis Tiongkok sering mengkritik metodologinya, menyebutnya polemis, tidak akurat, dan selektif dalam penggunaan sumber. Perdebatan ini menggarisbawahi kesulitan dalam menyusun historiografi Mao yang netral dan komprehensif.

Simbolisme Mao di Tiongkok Modern

Ironisnya, meskipun kebijakan ekonomi Tiongkok saat ini merupakan pembalikan total dari ideologi Mao—mengadopsi kapitalisme pasar yang dikontrol negara—citra dan warisan Mao Zedong tetap menjadi simbol nasionalisme yang kuat dan landasan ideologis PKT. Partai secara pragmatis menggunakan ikon Mao untuk menjaga stabilitas politik, mengintegrasikannya ke dalam narasi kebesaran nasional Tiongkok. Ini adalah contoh di mana simbolisme ideologis yang mapan dikomodifikasi untuk tujuan pragmatis, memastikan bahwa fondasi negara satu partai tetap tak tergoyahkan meskipun orientasi ekonominya telah berubah secara radikal.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

30 + = 31
Powered by MathCaptcha